Ahad 28 Jan 2018 16:47 WIB

Tantangan Ekonomi Global Turut Jadi Tantangan Indonesia

Penguatan ekonomi Indonesia diharapkan mampu meredam dampak negatif ekonomi global.

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Gita Amanda
Sejumlah ekonom dari fakultas ekonomi dan lembaga riset membentuk Biro Ekonomi dan Riset (Indonesia Bureau of Economic Research/IBER) sebagai wadah riset dan kajian strategis untuk mendukung kebijakan publik Indonesia.
Foto: IBER
Sejumlah ekonom dari fakultas ekonomi dan lembaga riset membentuk Biro Ekonomi dan Riset (Indonesia Bureau of Economic Research/IBER) sebagai wadah riset dan kajian strategis untuk mendukung kebijakan publik Indonesia.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Tantangan ekonomi global secara otomatis menjadi tantangan ekonomi Indonesia. Penguatan ekonomi Indonesia yang disertai penyelarasan kebijakan diharapkan mampu meredam dampak negatif gejolak ekonomi global.

Profesor Peter Drysdale dari Australian National University (ANU) menyatakan menghadapi situasi ketidakpastian global yang berkembang saat ini pertanyaan utamanya bagi negara di kawasan Asia adalah bagaimana setiap negara melindungi kepentingan strategis, ekonomi dan politiknya dalam menghadapi kemunduran dalam kepemimpinan Amerika Serikat (AS) sebagai perekonomian terbesar dunia? Hal ini disampaikannya dalam konferensi dengan tema "Indonesia and The Response to an Uncertain Gobal Order yang digelar Indonesia Bureau of Economic Research (IBER)", pada Jumat (26/1) lalu.

Sementara itu, Akademisi Australian University (ANU) Dr Shiro Armstrong mengatakan model kebijakan perdagangan AS di bawah Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menimbulkan ancaman krisis pada sistem perdagangan global saat ini. Model kebijakan tarif yang dilakukan Trump terhadap produk impor seperti dari Cina dan Meksiko dapat memicu terjadinya perang dagang, meningkatkan risiko perekomian global dan bisa menekan pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) perekonomian dunia sampai ke angka tiga persen.

"Konsekuensinya ini akan menjadi bencana besar terhadap perekonomian global," kata Amstrong seperti disampaikan dalam keterangan resminya akhir pekan ini.

Dalam kesempatan itu, Menteri Perdagangan 2004-2011 yang juga pengajar FEB-UI, Profesor Mari Elka Pangestu mengingatkan, perkembangan ekonomi global yang stabil selama ini telah memberikan dampak positif terhadap perekonomian dunia dan perekonomian negara sedang berkembang seperti Indonesia. Walaupun globalisasi memberi keuntungan di satu sisi dari segi peningkatan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, di sisi lain manfaat globalisasi dalam pemerataan belakangan ini menjadi isu politik dan ekonomi.

Sebagian besar kemakmuran yang dicapai Indonesia hari ini tidak terlepas dari tatanan global yang stabil, terbuka yang berbasis kebijakan dan aturan main yang memberikan kepastian. ''Sekarang, kepastian itu semakin berkurang dibandingkan sebelumnya dan perlu direspons dengan memperkuat kerja sama regional, dan diperlukan kebijakan terarah untuk mengatasi masalah ketimpangan yang telah terjadi,'' ungkap Mari.

Sementara itu Akademisi ANU dan peneliti Brooking Institution Adam Triggs mengingatkan dampak perkembangan global yang telah meningkatkan risiko sektor keuangan. Triggs mengatakan, sistem keuangan di negara Asia saat ini memang jauh lebih tangguh dibandingkan era 1990-an. Namun, lanjut dia, harga asetnya tinggi, sebaran risikonya mengecil, sektor keuangan yang ketat serta perubahan kebijakan moneter akan menguji ketangguhan tersebut.

Triggs mengingatkan, negara-negara Asia mungkin akan membutuhkan dukungan eksternal untuk pendanaan dan jaringan pengaman seperti dukungan saat menghadapi krisis keuangan beberapa tahun lalu. Dalam kaitan ini, menurut dia, reformasi IMF dan penguatan kerja sama regional akan menjadi sangat penting.

Menurut Mantan Menteri Keuangan dan pengajar di FEB Universitas Indonesia, Muhamad Chatib Basri, menarik untuk menjadikan pengalaman menghadapi dampak Taper Tantrum yaitu ketika Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) mengurangi stimulus perekonomian pada 2014 yang berdampak pada stabilitas perekonomian Indonesia. Alat kebijakan moneter, fiskal dan makroprudensial harus digunakan.

''Indonesia harus memperkuat penyangga kebijakan dan mendorong pertumbuhan produktivitas melalui investasi infrastruktur, modal SDM dan memperbaiki tata kelola,'' kata Chatib.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement