EKBIS.CO, JAKARTA -- Menuai banyak penolakan dari banyak sopir taksi taksi Online, Peraturan Menteri (PM) 26 dan 108 Tahun 2017 dinilai bias dengan kepentingan bisnis. Pengamat Transportasi dan Advokat Publik Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Aziz Tigor Nainggolan mengatakan, terlebih dalam ketentuan batas tarif yang dinilai penuh dengan kepentingan bisnis taksi konvensional.
"Lagi-lagi memang terbukti bahwa PM ini ketentuannya bias kepentingan bisnis," kata dia dalam keterangan tertulis, Senin (29/1).
Pasalnya, kata dia, taksi online bukanlah taksi yang berorientasi full bisnis seperti taksi konvensional lainnya. Banyak diantara pengemudi taksi online berprofesi sebagai sopir taksi untuk penghasilan tambahan, bukan profesi utama mereka. Sehingga akan menjadi tidak adil ketika beban operasional diberlakukan layaknya taksi konvensional.
"Taksi online pelakunya tidak memerlukan kantor, biaya manajemen. Tidak perlu tambahan biaya perizinan aneh-aneh seperti keperluan pengusaha taksi konvensional," jelas dia.
Sebab itu, kata dia, sistem tarif batas atas batas bawah bagi taksi online yang justru akan mengurangi pelanggan taksi online lantaran pemberlakuan batas atas dan batas bawah.
Aziz menjelaskan, ketentuan tarif batas atas bawah tersebut dinilai bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh pasal 183 UU no: 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU 22/2017). Pasal 183 diatur bahwa tarif taksi diatur berdasarkan kesepakatan antara penyedia jasa layanan dan pengguna jasa.
"Jadi tarif taksi dilepas pada pasar secara terbuka dan tidak ada ruang pemerintah untuk intervensi mengatur karena taksi bukan angkutan kelas ekonomi," jelas dia.
Menurut Aziz, kententuan mengenai batas tarif atas bawah ini PM 26/2017 dan PM 108/2017 akan sangat mudah diajukan pembatalan aturannya dengan upaya Uji Materil ke Mahkamah Agung (MA). Upaya Uji Materil tersebut didasari prinsip hukum bahwa ketentuan tarif batas atas bawah PM 26/2017 dan PM 108/2017 bertentangan materinya dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi yakni UU 22/2009.