EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani mengatakan, garam industri tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Sebab, garam industri memiliki kriteria berbeda dibandingkan garam konsumsi, garam industri harus mengandung natrium klorida (NaCL) sebesar 97,4 persen atau lebih, sedangkan garam konsumsi di bawah angka tersebut.
"Permasalahan ini juga terjadi pada tahun lalu (2017), pemerintah tidak bisa membedakan antara garam industri dan konsumsi, sehingga terjadi kerancuan data," ujarnya, Selasa (6/2).
Menurutnya, apabila impor garam tidak dilakukan untuk menambah stok garam industri dalam negeri, keberlangsungan industri, seperti makanan minuman, kaca, kertas hingga pengeboran minyak akan terganggu. Karena itu, ia berharap agar pemerintah pusat dalam hal ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus bersinergi ke depannya.
"Kembali ke posisi sekarang, disampaikan memang terjadi kekurangan garam, kalau terjadi kekurangan dan itu juga datanya dari industri kurang, ini sama saja seperti tahun lalu," jelasnya.
Diketahui sebelumnya, kelangkaan garam industri diatasi pemerintah pusat lewat keputusan impor garam. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian lewat rekomendasi Kemenperin mengeluarkan keputusan untuk mengimpor garam industri sebanyak 3,7 juta ton untuk tahun 2018, sementara KKP berpendapat kebutuhan garam nasional hanya sebanyak 2,17 juta ton.
Besarnya jumlah impor garam tersebut dinilai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dapat mempengaruhi kelangsungan usaha petani garam lokal. Sebab, masuknya garam impor dapat mempengaruhi harga garam di pasar lokal. "Impor sekarang tidak mengindahkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh KKP," kata Menteri Susi, beberapa waktu lalu