EKBIS.CO, JAKARTA -- Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina tidak hanya berdampak buruk bagi kedua negara, namun juga ekonomi global. Ekspor Indonesia juga akan terkena dampak dari perselisihan ini.
Pekan lalu, AS memberlakukan tarif 25 persen pada impor Cina senilai 34 miliar dolar AS, yang segera dibalas Cina dengan mencocokkan tarif dengan jumlah yang sama dari ekspor AS ke Cina. Kemudian pada Selasa (10/7), AS kembali menerapkan 10 persen tarif pada impor Cina senilai 200 miliar dolar AS, termasuk sejumlah barang konsumsi. Hal ini mendorong saham di Asia tergelincir.
Baca juga, Bappenas: Perang Dagang Bisa Ganggu Ekonomi Daerah
Project consultant Asian Development Bank Institute (ADB Institute) Eric Sugandi menilai perang dagang ini pada akhirnya tidak menguntungkan AS, Cina, dan negara-negara yang menjadikan AS dan Cina sebagai negara tujuan utama ekspor mereka.
Walaupun saat ini pertumbuhan ekonomi AS relatif baik, tapi perang dagang dengan Cina beresiko memperlambat pertumbuhan ekonomi AS via beberapa industri. Misalnya industri pesawat terbang dan pertanian AS (sorgum, kacang-kacangan dan lainnya)
Sementara bagi Cina yang tren pertumbuhan ekonominya melambat dalm beberapa tahun terakhir, perang dagang dengan AS berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi Cina lebih lanjut via beberapa macam industri. Misalnya elektronik, mesin, dan pertanian (buah-buahan).
"Perlambatan pertumbuhan ekonomi AS dan Cina akan berpengaruh negatif pada ekspor negara- negara Asia yang menjadikan AS dan Cina sebagai tujuan utama, karena melemahnya permintaan impor dari keduanya. Indonesia, misalnya, banyak mengekspor komoditas energi ke Cina dan tekstil ke AS," ujar Eric kepada Republika.co.id, Rabu (11/7).
Selain itu, perlu diantisipasi juga produk-produk Cina yang akan dialihkan dari pasar AS ke Asia, misalnya baja dan aluminium, yang merupakan pengaruh via jalur perdagangan internasional.
Di sisi lain, dari jalur keuangan internasional, perang dagang ini bisa memicu aliran modal keluar (capital outflows) dari negara berkembang (emerging markets). Asing akan menarik dana dari bursa saham dan pasar obligasi yang berakibat kepada melemahnya mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Pelemahan mata uang ini jika persisten bisa memperbesar tekanan imported inflation. Pelemahan mata uang ini tidak serta merta positif untuk ekspor jika produk ekspornya banyak menggunakan komponen impor," jelasnya.
Apabila perang dagang ini dilanjutkan, dampaknya bisa dalam jangka panjang. Perekonomian Indonesia banyak digerakkan faktor domestik, terutama konsumsi rumah tangga. "Ini bisa membantu meredam tekanan eksternal," kata Eric.