EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono mengatakan pemerintah enggan ikut campur dalam menentukan harga transfer kuota batu bara. Bambang menjelaskan terkait harga untuk transfer kuota diserahkan melalui mekanisme kesepakatan bisnis atau business to business (b to b).
"Kita nggak mau terlibat. Biar b to b aja. kalau kita atur entar kita salah lagi, nanti dibilang nggak fleksibel. Biar mereka yang nentuin biar fleksibel," ujar Bambang, Selasa (24/7).
Bambang menjelaskan pemerintah sudah cukup memberikan keleluasaan bagi para penguasaha untuk melakukan transfer kuota. Transfer kuota ini bisa digunakan bagi para pengusaha batu bara yang belum bisa memenuhi target DMO sebesar 25 persen.
Saat ini kata Bambang hanya mekanisme tersebut yang bisa diberikan pemerintah agar memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk bisa memudahkan pencapaian target DMO. "Sejauh ini itu dulu. Pokoknya, akhir tahun kalau tidak sampai target ya akan kena sanksi," ujar Bambang.
Pemerintah pada 19 April lalu menetapkan kebijakan transfer kuota. Transfer kuota ini merupakan mekanisme pemindahan kuota batubara dengan kalori yang bisa diserap oleh PLN.
Jika ada satu perusahaan yang memasok PLN melebihi kuota 25 persen maka jumlah tersebut bisa ditransferkan kepada perusahaan yang belum bisa mencapai target tersebut. Konsekuensi bagi perusahaan yang tidak bisa memenuhi aturan DMO 25 persen maka akan dikurangi jatah ekspor nya pada RKAB 2019 mendatang.
Sayangnya, kebijakan Transfer Kuota ini tak ditanggapi positif oleh seluruh pengusaha batubara. Hal ini disebabkan tidak adanya acuan harga dari transfer kuota tersebut.
Karena tidak ada acuan harga, maka bisa jadi harha yang ditetapkan oleh pihak pengusaha jauh lebih mahal dari HBA dan ketentuan Harga Khusus untuk pembangkit listrik PLN.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Pertambangan Batubara (APBI), Hendra Sinadia mengatakan bahwa banyaknya perusahaan yang tidak bisa memenuhi DMO sebesar 25 persen lantaran terhambat masalah harga beli kepada perusahaan lain.
"Ada perbedaan pandangan dari produsen, antara yang punya kuota lebih dan membutuhkan kuota. Sementara pemerintah menyerahkan bussines to bussines," ujar Hendra.
Sedangkan dari perusahaan batubara lain seperti Adaro enggan terlibat lebih dalam terkait aturan ini. Presiden Direktur PT Adaro Energy, Garibaldi Thohir menjelaskan selama ini Adaro sudah mematuhi aturan yang dilayangkan pemerintah terkait pemenuhan DMO sebesar 25 persen.
Karena aturan tersebut, Adaro memang hanya mengalokasikan 25 persen dari total produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. Tidak lebih, tidak kurang.
"Saat ini batubara Adaro (jenis & jumlahnya) sudah sesuai dengan ketentuan DMO (25 persen). Jadi kita belum melakukan transfer kuota," ujar Boy kepada Republika, Selasa (24/7).
Sedangkan untuk perusahaan yang memang melebihi kuota 25 persen seperti PT Bukit Asam dan Indika Energi mengaku terbuka dengan mekanisme transfer kuota. Kedua perusahaan tersebut menjamin harga yang diberlakukan dalam transfer kuota ini akan sesuai dengan kewajaran mekanisme pasar.
Direktur Utama Indika Energy Arsjad Rasjid mengaku sudah membicarakan transfer kuota dengan APBI. Pembicaraan itu mengerucut mengenai metode terbaik yang akan dilakukan perusahaan.
Kita serahkan ke asosiasi, kan ada APBI. Sekarang lagi bicara ke teman-teman semuanya bagaimana metode yang terbaik untuk mengenai transfer kuota," kata Arsjad. Indika Energy, kata Arsjad, akan mengikuti apa pun keputusan APBI termasuk metode dan harga yang ditetapkan.
Direktur Utama PT Bukit Asam (PTBA), Arviyan Arifin menjelaskan kebijakan transfer kuota yang diberlakukan Kementerian ESDM untuk memenuhi DMO PLN menjadi salah satu cara bagi perusahaan tambang untuk bisa memenuhi target 25 persen. Hanya saja Arviyan tak menampik jika perusahaan tambang yang skala kecil dan tidak bisa memproduksi batubara dengan kalori sesuai kebutuhan PLN.
Dengan kebijakan transfer kuota ini, PTBA yang selama ini juga sudah bisa melebihi target DMO ke PLN terbuka untuk membagi kuotanya. "Selisih harga ekspor dan harga PLN. Itu bayar ke pendapatan kita. Jadi kita tetep menjual seharga market karena ada perusahaan yang tidak memenuhi DMO ke PLN," ujar Arviyan, Senin (23/7).