EKBIS.CO, JAKARTA -- Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, tak menampik tingginya cost recovery di sektor migas hingga akhir tahun bisa mencapai 11 miliar dolar AS. Namun, meski begitu, Arcandra berharap hingga akhir tahun, nilai cost recovery ini bisa ditekan.
Salah satu upayanya, kata Arcandra, adalah meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri. Namun, disatu sisi Arcandra menjelaskan untuk bisa meningkatkan TKDN dalam sektor hulu migas memang perlu banyak perhitungan.
"Nilainya berapa memang belum kita hitung. Tapi apakah bisa menekan cost recovery? Sebenarnya bisa. Tetapi juga harus dilihat lagi, apakah proyek yang sedang jalan saat ini sejalan dengan ketersediaan komponen yang diproduksi dalam negeri," ujar Arcandra di Kementerian ESDM, Jumat (7/9).
Arcandra menjelaskan saat ini SKK Migas bersama Kementerian Keuangan sedang membereskan list komponen hulu migas apa saja yang memang sudah bisa diproduksi dalam negeri. Satu per satu proyek kata Arcandra memiliki spesifikasi dan kebutuhan yang berbeda beda.
"Kita masih selesaikan listnya. Kalau soal value kan berarti juga harus dilihat, proyek yang mana dulu," ujar Arcandra.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan kenaikan pengembalian biaya operasional atau cost recovery hulu minyak dan gas bumi (migas) untuk tahun depan. Hingga Agustus 2018, cost recovery sudah mencapai 7,8 miliar dolar AS. Diperkirakan sampai akhir tahun cost recovery tembus 11,34 miliar dolar AS atau membengkak dari target.
Adapun, prediksi cost recovery terbesar untuk PT Pertamina Hulu Mahakam sebesar 1,57 miliar dolar AS. Disusul ENI Muara Bakau (1,29 miliar dolar AS), PT Chevron Pasific Indonesia (1, 38 miliar dolar AS), dan PT Pertamina EP (1,21 miliar dolar AS).
Kemudian Husky Oil 683 juta dolar AS, Premier 600 juta dolar AS, ExxonMobil 455 juta dolar AS. ConocoPhillips 348 juta dolar AS, PT Pertamina Hulu Energi WMO 329 juta dolar AS, dan Medco E&P 322 juta dolar AS. Sementara kontraktor kontrak kerja sama lainnya 3,13 miliar dolar AS.