EKBIS.CO, JAKARTA -- Kehadiran teknologi telah mengubah perilaku sebagian masyarakat dalam melakukan berbagai hal, termasuk untuk urusan belanja. Dalam kurun waktu tiga sampai lima tahun belakang, perubahan perilaku belanja dari transaksi luring menjadi daring membuat pusat perbelanjaan seperti mal dan supermarket seketika sepi pengunjung.
Banyak yang menyebut hal itu disinyalir karena tingginya pertumbuhan berbagai platform e-dagang seiring meningkatnya jumlah pengguna internet dan ponsel pintar. Menengok situasi ini, tidak sedikit yang meragukan eksistensi dari industri ritel di tengah kejayaan e-dagang. Keyakinan itu kian menguat setelah beberapa perusahaan ritel terpaksa menutup toko-tokonya karena sepi pengunjung.
Meski demikian dosen magister manajemen Universitas Gajah Mada Hargo Utomo mengaku optimistis industri ritel tetap bisa mempertahankan eksistensinya dinera disrupsi ini. Alih-alih menjadikannya sebagai hambatan, perusahaan ritel harus bisa memanfaatkan momen ini untuk mengevaluasi diri.
"Untuk bertahan di era ini perusahaan ritel harus kreatif, inovatif, proaktif dan agresif. Dibutuhkan langkah strategik dalam mengabsorbsi dan memaknai setiap indikasi perubahan lingkungan bisnis," ujar Hargo saat ditemui dalam acara diskusi beberapa waktu lalu.
Dengan kata lain, perusahaan harus bisa memahami situasi bisnis serta peka terhadap apa yang sedang terjadi dan akan terjadi. Menurut Hargo, kepekaan bisnis dapat dikembangkna dengan bertumpu pada tiga pilar, yaitu rasa ingin tahu, kreativitas dan berani untuk mengambil keputusan-keputusan strategik dari setiap perubahan lingkungan dan peluang yang ada.
Misalnya, kondisi terdekat yang perlu diperhatikan yaitu bonus demografi yang akan dialami Indonesia beberapa tahun ke depan. Diprediksi, pada fase ini akan terjadi banyak pergeseran perilaku yang berpengaruh terhadap pola konsumsi serta daya beli. Dalam menyikapi hal ini, industri ritel harus bisa mengabsorbsi perilaku gaya hidup yang selama ini dianggap milik kaum milenial.
Sementara itu, Sofian Lusa selaku wakil ketua umum bidang standardisasi Indonesia e-Commerce Association mengatakan digitalisasi adalah sebuah tren dan fenomena yang tidak bisa dielakan. Setiap pelaku usaha baik kelas Usaha, Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) atau pun industri besar yang telah mapan sekaligus pasti akan tetap menemui berbagai isu di era digital.
Untuk menyikapi fenomena ini, menurut Sofian, setiap perusahaan harus mampu mengubah pola pikirnya mengikuti perubahan pasar. "Pola pikir ini menurut saya penting bagaimana kita menyikapi era disrupsi. Kalau masih dengan pola pikir yang sama padahal pasar berubah, maka bukan tidak mungkin ritel atau industri yang sudah established sekalipun akan mengalami kegagalan atau tumbang," kata Sofian.
Sofian memaparkan, saat ini promosi tidak lagi seperti dulu yang dilakukan dengam memasang iklan di baliho besar atau spanduk di pinggir jalan. Sekarang promosi lebih banyak dilakukan di media sosial. Pada dasarnya, strategi promosi seperti ini sudah dilakukan di berbagai bidang seperti di sektor pariwisata maupun kuliner. Dua sektor ini menunjukkan tren positif karena didukung oleh perkembangan teknologi.
Agar bisa bertahan di era disrupsi ini, menurut Sofian, pola pikir pelaku industri ritel tidak boleh hanya berpatokan dengan cara-cara tradisional. Mereka harus bisa memanfaatkan internet dan media sosial untuk membaca tren. Untuk memperluas pasar, perusahaan ritel bisa memadukan dua konsep penjualan, luring dan daring. Jika hanya luring saja, bukan tidak mungkin mereka akan mudah tergerus.
Dengan memanfaatkan teknologi, perusahaan bisa membuat berbagai jenis bisnis model mulai dari yang baru, memperbarui produk yang sudah ada atau mempertahankan yang sudah ada dan menambah fitur yang baru.
Untuk ritel, Sofian menyarankan untuk segera mengadopsi sistem penjualan daring. Misal dimulai dari promosi dengan menjual produk di market place. Mengemas produk semenarik mungkin serta mempublikasikan testimoni di media sosial juga menjadi hal yang penting. "Adopsi ini juga harus melihat kemampuan, kalau sekiranya talent mampu bisa adopsi total tapi kalau belum mampu bisa adopsi secara bertahap," ujar Sofian.