Jumat 30 Nov 2018 05:50 WIB

Rupiah Dinilai Sulit Capai Level Rp 13 Ribu per Dolar AS

Penguatan rupiah sejalan dengan penguatan semua mata uag negara emerging economies

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang asing. ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang asing. ilustrasi

EKBIS.CO, JAKARTA -- Pergerakan kurs upiah menguat cukup signifikan hari ini. Penguatannya sekitar satu persen atau naik ke level Rp 14.300 per dolar AS.

Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Febrio Kacaribu menilai, nilai tukar rupiah masih bisa lebih menguat dibandingkan posisi hari ini. Hanya saja kemungkinan tetap sulit menembus level Rp 13 ribu per dolar AS.

Baca Juga

"Cukup berat kalau ke Rp 13 ribu per dolar AS. Khususnya karena Bank Indonesia (BI) harus mulai akumulasi cadangan devisa lagi. Jadi mungkin penguatan rupiah agak tertahan di sekitar Rp 14 ribu per dolar AS dalam jangka pendek," jelasnya kepada Republika, Kamis (29/11)

Menurutnya, penguatan rupiah pada Kamis (29/11) kemarin sejalan dengan penguatan hampir semua mata uang negara emerging economies. "Penyebabnya adalah perubahan pada pernyataan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Jerome Powell hari ini. Pernyataan tersebut tentang suku bunga kebijakan AS yang mungkin sudah hampir cukup tinggi untuk saat ini," tutur Febrio.

Persepsi pasar keuangan global tentang kenaikan suku bunga kebijakan AS di 2019, kata dia, cukup terkoreksi. Akibatnya semakin banyak investor global yang mempercepat penyesuaian portofolionya untuk kembali membeli aset-aset dari emerging market (EM), seperti Indonesia.

Indonesia, lanjut Febrio, cukup menonjol di antara penguatan mata uang EM hari ini. Bahkan dalam satu bulan terakhir.

"Menurut saya ini terutama karena tiga faktor besar. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang masih relatif lebih baik daripada negara EM lainnya. Kedua, Bank Indonesia yang relatif lebih agresif dibandingkan bank sentral lain," tuturnya.

Sikap agresif tersebut menurutnya disebabkan oleh tumbuhnya kredit perbankan yang cukup signifikan walau suku bunga kebijakan sudah naik cukup banyak. Lalu faktor ketiga yakni tren penurunan harga minyak mentah, yang akan menolong defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) turun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement