EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersama mengoptimalkan perkembangan teknologi. Sebab, jika pemanfaatannya salah, penerapan teknologi dalam industri justru akan menimbulkan biaya besar. Dampaknya tidak hanya untuk masa kini, juga generasi masa depan.
Pemangku kepentingan yang dimaksud Wimboh adalah perguruan tinggi dan alumninya juga perbankan dan customer. Menurutnya, OJK tidak dapat bergerak sendiri dalam menghadapi perkembangan teknologi yang ada, termasuk kehadiran financial technology (fintech).
"Akan sangat powerless kalau harus melawan ini sendiri," ujarnya dalam diskusi Antisipasi Disrupsi Teknologi Keuangan Era 4.0 di Jakarta, Rabu (23/1).
Menurut Wimboh, teknologi bukanlah sesuatu yang dapat dihindari. Sebab, seperti dalam ilmu ekonomi, teknologi merupakan alat yang dipergunakan oleh siapapun untuk memaksimalkan utilitas.
Kehadiran teknologi merupakan bukti perkembangan zaman. Apabila dulu industri hanya membutuhkan modal dan tenaga kerja, kini mereka harus mengikutsertakan teknologi dalam komponen utama mereka. Meski membutuhkan investasi waktu dan biaya besar, teknologi tidak dapat dihilangkan untuk mengikuti perkembangan zaman.
Lebih menarik, Wimboh menambahkan, kini industri nonjasa keuangan sudah banyak menggunakan teknologi atau disebut sebagai fintech. Dampaknya, mereka dapat menawarkan produk yang biasanya hanya dapat disajikan industri jasa keuangan.
"Misal, kredit dan deposito sampai alat pembayaran, sudah ditawarkan industri nonjasa keuangan," ujarnya.
Jadi, Wimboh menjelaskan, kehadiran teknologi bukanlah sesuatu yang dapat dibendung, tapi tetap bisa diarahkan. Bukan dilarang, melainkan meminimalkan distorsi dan dampak negatif dari teknologi tersebut. Salah satu tujuan utamanya, agar masyarakat memahami benar risiko dan benefitnya.
Apabila dilihat secara statistik, Indonesia menjadi negara yang paling untung dengan mendapatkan penetrasi fintech. Sebab, Indonesia sebagai negara kepulauan, membutuhkan kemudahan untuk menjangkau penduduknya yang banyak. "Berbeda dengan Cina, Thailand dan Malaysia yang mainland. Indonesia butuh kerja lebih untuk menjangkau warga-warga di daerah remote," ucap Wimboh.
Deputi Komisioner OJK Institute Sukarela Batunanggar mengatakan, setidaknya ada lima prinsip OJK dalam mengatur fintech. Pertama, pengaturan berbasis prinsip. Ini berbeda dengan pengaturan jasa keuangan yang cenderung rule based.
Menurut Sukarela, untuk fintech, sebuah aturan hanya dibuat berdasarkan pokok atau prinsip saja. Sebab, perkembangan fintech sangat cepat, tidak seperti model bisnis perbankan yang cenderung lambat. "Kami ingin berikan ruang kepada industri untuk mengembangkan kebijakan yang lebih tepat untuk industrinya masing-masing," ujarnya.
Prinsip kedua, market conduct. Artinya, OJK menjadi pihak yang bertanggung jawab dan memiliki kapabilitas agar fintech beroperasi dengan baik. Caranya, mewajibkan mereka untuk melakukan transparansi dan memberikan edukasi kepada konsumen.
Berikutnya, customer protection yang juga menjadi prinsip dasar untuk fintech maupun lembaga jasa keuangan incumbent. Keempat, inovasi bagaimana regulator juga terlibat, khususnya dalam membangun ekosistem.
Kelima, Sukarela mengatakan, regulatory sandbox yang menjadi live laboratory bagi OJK untuk mengobservasi perilaku fintech. Baik itu dari segi model maupun proses bisnisnya. "Dengan prinsip-prinsip ini, diharapkan fintech dapat lebih terarah," tuturnya.