EKBIS.CO, JAKARTA -- Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyatakan, kurun waktu 15 tahun terakhir, penggunaan angkutan umum khusus di jalan raya wilayah DKI Jakarta makin ditinggalkan pengguna. Itu diakibatkan karena masyarakat cenderung menggunakan transportasi pribadi. Sementara, peningkatan kapasitas jalan raya dalam periode yang sama tidak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan.
Ketua Bidang Perkeretaapian MTI, Aditya Dwi Laksana, mengatakan, mengacu pada catatan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), kurun waktu 1995 hingga tahun 2000, pangsa pengguna transportasi umum di Jakarta mencapai 40 persen dari total perjalanan masyarakat sehari-hari.
Namun, kurun waktu 2000 hingga 2015, porsi penggunaan angkutan umum terus berkurang. “Paling tinggi share di angka 15 persen. Walaupun, Pak Gubernur (Anies Baswedan) menyatakan statement saat ini share sebesar 23 persen,” kata Aditya.
Sementara itu, peningkatan kapasitas jalan raya di Jakarta kurang dari satu persen per tahun dari total panjang ruas yang ada saat ini. Kondisi makin terjepit dengan keterbatasan kapastias angkut transportasi massal.
Adit menjelaskan, rata-rata kapasitas Commuter Line Jabodetabek saat ini sekitar satu juta penumpang per hari dan Bus Trans Jakarta 500 ribu per hari. Setelah transportasi moda raya terpadu (MRT) mulai beroperasi, paling tidak kapasitas hanya bertambah sekitar 75 ribu penumpang per hari.
“Padahal, setiap harinya di Jabodetabek tidak kurang 25 juta pergerakan orang per harinya,” kata ujar dia.
Melihat kondisi tersebut, MTI menilai bahwa pemerintah DKI Jakarta perlu membuat solusi mendasar. Pertama, kata Aditya, pendekatan kepada masyarakat wajib terus digencarkan. Kedua, perbaikan kualitas transportsi publik. Ketiga, pengendalian penggunaan kendaraan pribadi.
Ia menegaskan, mengalihkan masyarakat dari kendaraan pribadi menuju kendaraan umum butuh upayaluar biasa. Masyarakat tak bisa dibiarkan mengalir dan harus didorong lewat perbaikan layanan transportasi.
“Transportasi publik di buat senyaman mungkin, terjangkau, dan terpadu moda. Sedangkan pengguna kendaraan pribadi dibuat sesulit mungkin melalui berbagai instrumen,” ujar dia.
Sebagai contoh, instrumen yang masih dapat dikembangkan yakni, tarif parkir tinggi, pajak kendaraan progresif, jalan berbayar, ganjil genap, dan larangan masuk motor. “Jangka pendeknya, percepat penyediaan dan optimalisasi angkutan massal utama yang jadi tulang punggung transportasi publik seperti KRL, Trans Jakarta, MRT dan LRT,” katanya.
Selanjutnya, penataan ulang angkutan pengumpan atau feeder dan angkutan pemukiman yang terkoneksikan dengan angkutan massal utama. Terakhir, kata dia, sudah barang tentu pembangunan infrastruktur berikut pedestrian dan area parkir perpindahan moda serta sepeda wajib ditambah.