EKBIS.CO, JAKARTA — Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dinilai belum cukup memberikan perhatian khusus bagi sektor perpajakan. Padahal diperlukan langkah kongkrit untuk memperbaiki kinerja perpajakan nasional.
Menurut Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Anggito Abimanyu rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 11,5 persen pada tahun lalu belum mampu ditingkatkan. Padahal, tax ratio merupakan gambaran utuh tingkat kepatuhan pajak di Indonesia.
“Tax ratio harusnya bisa 12 persen. Tapi kok mandeg di kisaran 10-11 persen. Tax ratio mandeg, penerimaan (pajak) juga mandeg,” ujarnya saat acara ‘Peluncuran Buku Turbulensi Ekonomi’ di Gedung PPM Manajemen, Jakarta, Senin (15/4).
Anggito pun mempertanyakan rendahnya angka tax ratio Indonesia, meskipun sudah ada berbagai upaya reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah. Ia mencontohkan dengan mengimplementasikan kebijakan pengampunan pajak (amnesti pajak) dan komitmen untuk mengikuti pertukaran infomrasi perpajakan dengan negara luar atau AEoI.
“Harusnya setelah reformasi selama lima tahun ini, sudah ada gambaran di penerimaan 2019 dan 2020. Karena ujung-ujungnya pasti penerimaan,” ucapnya.
Setidaknya, kata Anggito, dengan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah di bidang perpajakan, angka tax ratio sudah bertambah sekitar satu persen hingga dua persen.
“Minimal naik satu persen hingga dua persen dari sekarang. Artinya kenaikan harus terjadi setelah reformasi,” ungkapnya.
Di sisi lain, kata Anggito, Indonesia tengah mengalami turbulensi atau guncangan dalam sektor ekonomi. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal.
Dalam bukunya Anggito menjelaskan kondisi perekonomian Indonesia saat ini cukup kuat dari tekanan ekonomi eksternal. Meski Indonesia pernah melewati turbulensi atau guncangan ekonomi yakni pada 1998 silam.
Dia menyebut krisis saat itu berhasil melengserkan Presiden Soeharto yang baru saja dilantik sebagai mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). "Dua puluh tahun lalu, terjadi krisis yang hampir menyeret negara penting di Asia. Indonesia terkena krisis yang berasal dari kejatuhan mata uang Thailand dibandingkan dolar AS. Krisis nilai tukar itu bertiup ke belahan selatan hingga turut menyeret rupiah dan ringgit," jelasnya.
Anggito juga menjelaskan pada 1998 sektor perbankan dan sektor keuangan Indonesia menjadi korban terparah. Bahkan, Indonesia masuk ke dalam jurang krisis yang parah lantaran fondasi ekonomi, relasi sosial hingga sistem politik dan aspek budaya turut terpengaruh.
"Inggris dan Amerika Serikat termasuk dalam kategori negara atas angin itu. Indonesia? Tentu masuk kategori negara bawah angin," ucapnya.
Kemudian, akibat kondisi tersebut ekonomi dunia melambat, perdagangan lesu hingga terajdi pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal tersebut turut berpengaruh ke Indonesia meski masih bisa teratasi.
“Inflasi cukup tinggi kala itu, neraca transaksi berjalan negatif dan menyentuh ambang batas, impor sangat cepat dibanding ekspor dan cadangan devisa yang belum dalam jumlah aman,” ungkapnya.