EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menyebutkan, industrialisasi dan hilirisasi harus menjadi fokus pemerintah dalam menghadapi defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Sebab, selama ini, Indonesia masih banyak ekspor komoditas bahan mentah dan setengah jadi yang menyebabkan nilai tambah ke pemasukan Indonesia sedikit.
Arif menjelaskan, selama ini, Indonesia banyak ekspor produk olahan pertama minyak kelapa sawit, yakni minyak sawit kasar (crude palm oil/ CPO) dan minyak inti sawit (palm kernel oil/ PKO). Keduanya hanya memiliki nilai tambah masing-masing nol persen dan 14 persen. "Tidak terlalu besar," tuturnya dalam acara diskusi di kantornya, Jakarta, Jumat (17/5).
Padahal, Arif menambahkan, Indonesia memiliki potensi besar mengembangkan olahan minyak kelapa sawit untuk produk lain yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Misanya saja surfaktan yang dapat meningkatkan produksi minyak bumi tahap lanjut. Produk surfaktan memiliki nilai tambah hingga 366 persen dengan estimasi saat harga CPO sebesar 1.168 dolar AS per ton.
Arif menuturkan, pengolahan sampai surfaktan juga dapat menjadi solusi ketika CPO Indonesia terhambat masuk ke pasar Uni Eropa (UE) yang mempertanyakan aspek keberlanjutan dari sawit Indonesia.
Arif menuturkan, komoditas sawit memiliki ptoensi sangat besar sebagai sebuah bahan baku industri dan diolah untuk menjadi produk-produk industri. Sayangnya, pemerintah dan industri belum mampu memanfaatkannya secara maksimal. Margarin, salah satu produk turunan sawit, berkontribusi 0,48 persen saja dari total ekspor Indonesia.
Apabila hanya tergantung pada CPO semata, Arif memprediksi, CAD akan terus melebar. Sebab, harga komoditas semakin lama akan semakin turut.
Secara agregat, harga komoditas ekspor non migas Indonesia per April 2019 sudah mengalami penurunan dibanding dengan April 2018. "Meski volume ekspor meningkat, yang kita budidayakan meningkat, tapi harganya terus turun," ujarnya.
Sementara itu, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menyebutkan, tantangan terbesar Indonesia menjadi negara industri adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Saat ini, SDM Indonesia lebih banyak memiliki pola pikir sebagai pedagang, bukan industriawan.
Perbaikan terhadap kualitas SDM harus menjadi pekerjaan utama pemerintah dan industri. Tanpa SDM yang baik, keberadaan bahan baku dan kecukupan modal menjadi kurang berarti. "Pengembangan industri kita juga terus mengalami kendala," ucap Telisa.
Ia menambahkan, pengeluaran pemerintah harus diarahkan untuk terus memperbaiki SDM. Tidak hanya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yang memang difokuskan untuk meningkatkan kualitas SDM, juga pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 sampai 2024.
Program vokasi juga harus terus digalakkan. Khususnya untuk sektor yang memang berpotensi menjadi komoditas utama ekspor Indonesia, seperti terkait industri makanan dan minuman maupun pertanian. "Kita harus gunakan instrumen APBN secara maksimal untuk mencapai kualtias SDM yang mumpuni," ujar Telisa.
Kualitas SDM yang belum baik juga menjadi penyebab neraca jasa Indonesia masih mengalami defisit. Menurut Telisa, neraca jasa berkaitan erat dengan bisnis kepercayaan terhadap SDM. Hanya saja, Indonesia masih sering menyepelekan poin tersebut.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengubah proyeksi CAD tahun ini menjadi 2,5 persen hingga tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut lebih tinggi dibanding dengan proyeksi sebelumnya yang sebesar 2,5 persen dari PDB.
Menurut Gubernur PI Perry Warjiyo, salah satu penyebab koreksi tersebut adalah kinerja ekspor yang masih sulit diandalkan pada tahun ini akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi mitra dagang, terutama China.