Kamis 27 Jun 2019 17:37 WIB

Impor Barang dan Jasa Penyebab Defisit Transaksi Berjalan

Neraca perdagangan jasa sepanjang kuartal I 2019 defisit sebesar 397 juta dolar AS.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Defisit Neraca Transaksi Berjalan
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Defisit Neraca Transaksi Berjalan

EKBIS.CO, JAKARTA -- Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menyatakan, sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang merupakan barang nonmigas menjadi penyebab utama terjadinya defisit transaksi berjalan. Berdasarkan kajian terakhir yang dilakukan oleh KEIN, kondisi itu terjadi baik untuk sektor neraca perdagangan barang maupun neraca perdagangan jasa.

Wakil Ketua Umum KEIN, Arif Budimanfa mengatakan, di sektor perdagangan barang, menurut data dari United Nations Comtrade, nilai impor barang untuk kelompok mesin dan peralatan elektronik pada 2018 lalu mencapai 21,45 miliar dolar AS. Angka impor itu setara 11,37 persen dari total impor barang.

Baca Juga

Lebih detail, Arif menuturkan, dari kelompok barang tersebut, komoditas perangkat ponsel, peralatan transmisi suara, gambar dan data serta jaringan nirkabel memiliki porsi 27,07 persen atau setara 5,81 miliar dolar AS terhadap nilai impor dari mesin dan peralatan elektronik.

Adapun per kuartal I 2019, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor kelompok barang tersebut mencapai 4,40 miliar dolar AS atau menempati posisi impor mesin-mesin mekanik.

 

"Tingginya impor di sektor ini tentu memunculkan kekhawatiran, mengingat teknologi sudah menjelma menjadi kebutuhan dasar. Diperkirakan permintaan sektor ini akan semakin meningkat ke depannya," kata Arif di Jakarta, Kamis (27/6).

Lebih lanjut, dari sektor neraca jasa, KEIN mencatat sepanjang kuartal I 2019, terdapat defisit sebesar 397 juta dolar AS. Arif mengatakan, defisit neraca jasa untuk sektor teknologi informasi dan komunikasi semakin sejak tahun 2011 silam. In

Arif menyampaikan, yang dimaksud dengan defisit neraca jasa sektor TIK terutama terkait aktivitas unduh aplikasi milik platform asing oleh pengguna ponsel pintar di Tanah Air. Ia memaparkan, hal tersebut perlu disikapi oleh pemerintah dengan mengurangi beban biaya Hak Kekayaan Intelektual (Haki) agar industri dalam negeri juga dapat mengembangkan aplikasi.

"Jangan lihat aplikasinya, tapi proses di belakang itu yang rumit. Indonesia masih mengalami keterlambatan dalam hak pengajuan paten, ini tentunya berpengaruh terhadap penggunaan Haki," ujar Arif.

Pihaknya mendesak agar pemerintah membuat suatu perubahan kebijakan secara struktural untuk mengatasi defisit neraca jasa dan barang TIK. Termasuk, besaran biaya penggunaan Haki.

Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) Nunung Nuryartono, menambahkan, dari total populasi 268,2 juta jumlah ponsel lebih banyak dari populasi yakni sebanyak 353,3 juta.

Adapun pengguna internet dan yang aktif di media sosial sebanyak 150 juta perangkat. Secara spesifik, brand ponsel yang mendominasi pasar di Indonesia yakni Samsung. Disusul Oppo, Xiaomi dan Vivo. Seperti diketahui, merek tersebut merupakan milik asing sehingga dengan meningkatkan permintaan, secara otomatis memacu peningkatan impor perangkatnya. 

Sementara itu, penetrasi internet di Indonesia sebesar 56 persen atau lebih rendah dari rata-rata penetrasi internet di dunia sebesar 57 persen. Namun, dari segi rata-rata lama waktu berinternet, Indonesia mencapai 8,5 menit per jam atau lebih tinggi dari rata-rata dunia selama 6 menit per jam.

"Basis handphone inilah yang berimplikasi dengan hal yang berkaitan dengan kemungkinan transaksi berjalan kita menjadi defisit," ujar dia.

Lebih lanjut, Nunung memaparkan, UN Comtrade juga mencatat bahwa total konsumsi konsumen untuk sektor TIK di Indonesia mencapai 313,5 juta dolar AS pada tahun lalu. Jumlah sebesar itu, merupakan akumulasi biaya yang dikeluarkan konsumen Tanah Air untuk mengunduh aplikasi ponsel. Tentu, kata dia, biaya tersebut menjadi devisa yang keluar dari Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement