Jumat 19 Jul 2019 16:22 WIB

Dibutuhkan Kebijakan Diskriminatif Dorong Fintech Syariah

Akan ada lima fintech syariah baru yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Fintech (ilustrasi)
Foto: flicker.com
Fintech (ilustrasi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Syariah dari Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI Azis Budi Setiawan menuturkan, dibutuhkan peraturan ‘diskriminatif’ untuk mengembangkan industri financial technology (fintech) syariah di Indonesia. TIdak terkecuali untuk memajukan tekfin syariah yang kini jumlahnya masih menjadi minoritas dibanding dengan fintech konvensional.

Apabila hanya mengandalkan mekanisme pasar umum, perkembangan fintech syariah akan berjalan cenderung lambat. Azis menjelaskan, salah satu peraturan yang harus diperbaiki adalah kewajiban membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) bagi fintech syariah.

Baca Juga

Hal ini akan menambah kerja dari fintech syariah yang kini masih termasuk sebagai pelaku usaha baru di industri. "Untuk industri baru, dia tidak bisa kemudian disamakan dengan yang established dan stabil," ujarnya ketika dihubungi Republika, Jumat (19/7).

Di tiitk ini, Azis menuturkan, kesungguhan pemerintah untuk menjalankan masterplan mengenai ekonomi halal dan keuangan syariah harus diterjemahkan secara lebih konkrit. Termasuk dengan memasukkan instrumen keberpihakan dalam berbagai bentuk, termasuk dengan kebijakan yang memberikan stimulus untuk mendorong pertumbuhan fintech syariah.

Menurut Azis, tanpa ada kebijakan diskriminatif, fintech syariah akan sulit berkembang. Hal ini juga akan menghambat target pemerintah sebagai pemimpin industri keuangan syariah dan berkompetisi dengan negara lain. "Jadi, ini bukan hanya demi kepentingan instansi, juga agar Indonesia bisa lead di ekonomi syariah," katanya.

Secara umum, Azis menilai, fintech syariah memang masih menghadapi berbagai tantangan untuk berkembang. Salah satunya dikarenakan desain dari industri tekfin di Indonesia yang mewajibkan fintech syariah harus memenuhi model bisnis dan teknologi serupa dengan konvensional. Hal ini ditambah dengan kewajiban mereka untuk memenuhi akad syariah yang tidak mudah dimasuki’ oleh pemegang saham atau investor.

Selain dari pemerintah, Azis menjelaskan, perkembangan fintech syariah juga membutuhkan dukungan dari pemegang saham dan pendiri yang memiliki satu visi dengan ekonomi syariah. Ini masih menjadi tantangan, mengingat dunia bisnis dan investor yang masih cenderung pragmatis.

"Yang loyal terhadap syariah sangat kecil jumlahnya," katanya.

Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital (IKD) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono memprediksi, akan ada lima fintech syariah baru yang terdaftar oleh OJK. Salah satunya adalah Waqara, aplikasi perencana keuangan bagi masyarakat yang ingin melakukan perjalanan umrah. Saat ini, Waqara sudah tercatat sebagai fintech yang sedang diproses untuk memasuki regulatory sandbox.

Triyono menyebutkan, sampai saat ini, pihaknya masih belum memberikan penandaan khusus untuk membedakan antara perusahaan fintech syariah dengan konvensional. Ia berencana melakukannya dalam waktu dekat. "Tapi, yang masuk ke kami memang sudah banyak," ujarnya dalam media briefing di Gedung OJK, Jakarta, Jumat (19/7).

Triyono memprediksi, fintech syariah akan semakin berkembang seiring dengan gaya hidup halal yang semakin menjadi perhatian masyarakat Indonesia ataupun dunia. Terlebih, pemerintah kini mulai memberikan perhatian lebih terhadap industri ekonomi halal dan keuangan syariah. Salah satunya ditunjukkan melalui pembentukan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS).

Dalam pendaftarannya, OJK mensyaratkan fintech syariah untuk membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS). Selain itu, Triyono menambahkan, mereka juga harus mendapatkan rekomendasi dari asosiasi resmi, yang dalam hal ini adalah Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI). "Kalau konvensional, berarti Aftech (Asosiasi Financial Technology)," tuturnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement