EKBIS.CO, JAKARTA -- Tren pinjaman online melalui teknologi finansial (fintech) meningkat tajam. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Ahinegara, mengatakan pinjaman fintech sudah menembus Rp 41 triliun per Mei 2019.
Kenaikan ini, menurutnya, terbilang signifikan dibanding beberapa tahun terakhir. Pasalnya, per Mei 2018, pinjaman baru mencapai total Rp6,1 Triliun. "Artinya, dalam setahun ada kenaikan pinjaman fintech sebesar 583 persen," kata Bhima, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (24/7).
Saat ini, ada ribuan fintech P2P lending ilegal bertebaran. Sementara yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru sebanyak 113 fintech peer to peer landing. Dengan demikian, menurutnya, teknologi finansial (tekfin) ilegal mencapai 10 kali lipat lebih banyak dari jumlah yang terdaftar di OJK.
Sebenarnya, penyedia pinjaman online yang terdaftar di OJK sudah memiliki kode etik. Misalnya, tekfin harus tergabung dalam asosias. Selain itu, OJK juga menerapkan standar pengawasan yang cukup ketat bagi fintech yang terdaftar di OJK.
Namun, sebaliknya, ia melihat pengawasan terhadap fintech yang liar begitu rendah. Dari kasus yang banyak terjadi, fintech banyak menimbulkan korban dan kemudian baru dilaporkan ke pihak kepolisian. Setelah itu, fintech tersebut baru diberikan sanksi pemblokiran dan lainnya.
"Saya kira ini yang menjadi permasalahan fintech selama ini, bagaimana caranya menindak fintech ilegal secepat mungkin. Saya melihat koordinasi antara OJK, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan kepolisian dalam penanganan fintech sedikit lambat responnya," lanjutnya.
Saat ini, banyak bermunculan fintech ilegal. Bahkan, Kemkominfo hingga kini telah menutup sekitar 1.087 fintech ilegal. Namun, Bhima menyoroti lambannya pembokiran yang dilakukan terhadap fintech ilegal tersebut. Hal itu lantaran pemblokiran aplikasi harus dilakukan seizin dari Menkominfo.
Ia menyarankan agar rantai koordinasi yang terlalu panjang dalam penanganan fintech dibersihkan. Selain itu, ia juga menekankan agar sumber daya manusia (SDM) untuk melakukan pengawasan di OJK harus ditambah.
Selain itu, ia menyarankan agar OJK dan Kemkominfo bekerja sama dengan Google dan Appstore. Sehingga, tidak muncul fintech ilegal yang beroperasi menggunakan aplikasi.
Dari sisi konsumen, Bhima menekankan agar dilakukan sosialisasi peraturan OJK dan literasi keuangan secara terus menerus. Karena umumnya masyarakat tidak memahami ketentuan dalam fintech dan resikonya.
Umumnya, kata dia, masyarakat langsung tergiur karena pinjaman murah dan prosesnya cepat. Padahal, mereka belum memahami konsekuensi panjang dari pinjaman online tersebut. Salah satu kasus dari korban pinjaman online bahkan ada yang melakukan bunuh diri lantaran tidak kuat mendapat teror untuk melunasi utang dari fintech.
"Karena itu, para regulator pengawas sebaiknya bertindak cepat agar korban fintech ini bisa diminimalisir," tambahnya.