EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai, pelemahan yuan Cina terhadap dolar Amerika Serikat (AS) merupakan konsekuensi logis yang dilakukan Cina di tengah kondisi perang dagang. Pemicunya, rencana pemerintah Amerika Serikat (AS) yang ingin menerapkan tarif impor tambahan 10 persen terhadap produk Cina senilai 300 miliar dolar AS.
Fithra mengatakan, kebijakan yang dilakukan Cina merupakan currency war, turunan trade war atau perang dagang. Kondisi ini berpotensi melemahkan dolar AS yang juga akan berdampak negatif terhadap rupiah.
"Karena terkena efek depresiasi rombongan di efek regional," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/8).
Dari beberapa simulasi yang telah dilakukan Fithra, sisi contagious atau dampak dari mata uang regional terhadap rupiah tersebut memiliki dampak cukup signifikan. Hanya saja, dampaknya tidak akan terlalu lama, yakni dua hingga tiga bulan. Tidak hanya rupiah, nilai tukar mata uang Asia lainnya juga akan menghadapi tekanan.
Namun, Fithra menekankan, pemerintah tetap harus melakukan respons terhadap pergerakan yuan. Sebab, currency war akan berdampak terhadap kondisi ekonomi fundamental Indonesia dalam hal stabilitas nilai tukar.
"Termasuk membawa pertumbuhan ekonomi ke level yang jauh lebih negatif atau terkontraksi," katanya.
Berbicara masalah fundamental, Fithra menambahkan, pemerintah berarti harus fokus terhadap isu kinerja ekspor dan industrialisasi yang berpengaruh besar terhadap current account deficit (CAD) atau defisit transaksi berjalan. Kebutuhan industri hingga 90 persen terhadap bahan baku impor patut diantisipasi.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menuduh Cina telah secara sengaja melemahkan mata uangnya melalui media sosial Twitter. "Langkah tersebut dilakukan untuk mencuri bisnis dan pabrik, melukai lapangan kerja, dan menekan tenaga kerja juga harga para petani kita. Tak akan lagi!," ucap Trump dalam akun Twitternya.