EKBIS.CO, JAKARTA -- Sejumlah fraksi menyoroti realisasi penerimaan pajak Indonesia yang masih rendah, bahkan memiliki kecenderungan menurun. Anggota fraksi Partai Gerindra Bambang Haryo Soekartono menilainya sebagai sebuah kegagalan.
Bambang menjelaskan, hampir 80 persen penerimaan negara berasal dari pajak. Kegagalan pemerintah mencapai target penerimaan pajak itu berdampak secara keseluruhan terhadap kinerja APBN. "Pemerintah seharusnya fokus pada upaya perbaikan penerimaan pajak agar bisa optimal," ujarnya dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR/ MPR, Jakarta, Kamis (22/8).
Bambang mencatat, pada 2014, realisasi penerimaan pajak adalah Rp 985 triliun atau 91,9 persen dari target, Rp 1.072 triliun. Persentase tersebut menurun pada tahun berikutnya, yakni 81,5 persen atau Rp 1.055 triliun dari target Rp 1.294 triliun. Sementara itu, pada 2016, realisasinya Rp 1.283 triliun atau 83 persen dari target, Rp 1.539 triliun.
Pada 2017, realisasinya mencapai Rp 1.047 triliun atau 89 persen dari target Rp 1.283 triliun. Terakhir, pada tahun lalu, realisasinya adalah Rp 1.315 triliun atau 92 persen dari target yang sudah ditetapkan pemerintah, Rp 1.424 triliun.
Bambang mencatat, hal paling urgent saat ini adalah membenahi sistem perpajakan yang ada. Termasuk dalam merealisasikan pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan. Pemisahan tersebut harus disertai dengan kewenangan memadai untuk mengoptimalkan potensi penerimaan pajak yang ada.
"Upaya ini mendesak dituntaskan segera agar keuangan negara tidak tergantung pada utang," tuturnya.
Sementara itu, John Kenedy Azis dari Fraksi Golkar meminta agar pemerintah melalui Kemenkeu dapat memperinci langkah yang akan ditempuh untuk mencapai target penerimaan Rp 2.221 triliun. Tujuannya, agar masyarakat dapat memahami postur penerimaan negara secara rasional. Terlebih, jumlah penerimaan tahun depan meningkat 9,4 persen dibanding dengan perkiraan realisasi sampai akhir tahun ini.
Untuk mencapai target penerimaan yang tertuang dalam RAPBN 2020, John mengakui, dibutuhkan kerja keras dari pemerintah maupun industri. Sebab, saat ini ekonomi Indonesia tengah dihadapi banyak tantangan termasuk tingginya defisit neraca perdagangan hingga penerimaan pajak yang terus stagnan.
"Ditambah, kurang optimalnya capaian lifting migas," ujarnya.
Di sisi lain, faktor ekonomi global juga menjadi hambatan bagi kinerja ekspor Indonesia. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina diperkirakan masih menghantui perekonomian dunia, termasuk Indonesia, hingga beberapa tahun mendatang.
Namun, John meminta agar pemerintah tidak menyerah terhadap kondisi yang menimbulkan suasana ketidakpastian ini. Ia justru mendorong pemanfaatan atas peluang yang tercipta dari perang dagang ini, termasuk agar Indonesia lebih banyak berperan dalam perdagangan internasional.
"Ini saatnya Indonesia prioritaskan program hilirisasi industri untuk memberikan nilai tambah ke produk ekspor," tuturnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan, pihaknya terus berupaya meningkatkan penerimaan negara. Termasuk melalui reformasi di sektor fiskal dengan tetap memperhatikan kegiatan ekonomi.
"Karena, kalau ekonomi sedang melemah seperti saat ini, harga komoditas menurun, ya akan berdampak pada perusahaan-perusahaan yang selama ini menjadi wajib pajak," katanya ketika ditemui usai Rapat Paripurna.