Jumat 06 Sep 2019 16:04 WIB

Satu Harga BBM Harus Dimaknai Penyediaan Energi Terjangkau

Energi yang terjangkau dapat diwujudkan dengan konversi BBM ke sumber energi lain.

Rep: Antara/ Red: Friska Yolanda
Petugas mengisi BBM jenis solar ke dalam jeriken di SPBN Jongor, Tegal, Jawa Tengah, Rabu (31/7/2019).
Foto: Antara/Oky Lukmansyah
Petugas mengisi BBM jenis solar ke dalam jeriken di SPBN Jongor, Tegal, Jawa Tengah, Rabu (31/7/2019).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Penulis buku Nasionalisme Migas, Gde Pradnyana menilai bahwa kebijakan satu harga bahan bakar minyak (BBM) di seluruh Indonesia harus dimaknai sebagai penyediaan energi yang terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Apalagi ke depan pemakaian sarana transportasi berbasis listrik akan semakin meningkat.

"Energi yang terjangkau dapat diwujudkan dengan konversi BBM ke sumber energi lain, termasuk ke gas bumi," ujar Gde Pradnyana dalam bedah buku 'Nasionalisme Migas' di Jakarta, Jumat (6/9).

Dengan demikian, lanjut dia, pembangunan depo, bahan bakar gas alam cair (bunkering LNG), dan jaringan logistik minyak dan gas yang kuat akan dengan sendirinya membuat harga energi (termasuk BBM) menjadi terjangkau. Apalagi, pemakaian sarana transportasi berbasis listrik akan semakin meningkat maka penyediaan listrik hingga ke pelosok-pelosok menjadi keharusan. Menurut dia, kegiatan-kegiatan itu dapat didukung dari hulu, baik itu kegiatan hulu migas, batubara, biofuel, maupun kegiatan hulu pembangkitan energi primer lainnya.

"Ini membutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak termasuk mengundang investasi asing dalam bentuk 'sharing economy'," katanya.

Hal itu, menurut dia, sejalan dengan ungkapan Bung Karno bahwa kemajuan suatu bangsa tidak dapat diwujudkan jika bangsa itu menutup diri dari pergaulan dengan bangsa-bangsa lainnya. Saat ini, lanjut dia, investasi asing merupakan salah satu bentuk dari sharing economy, yaitu dalam hal berbagi risiko karena dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas tingkat kegagalannya cukup besar.

"Nilai investasinya juga tidak sedikit, dibutuhkan modal yang cukup besar dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas," katanya.

Maka itu, Gde Pradnyana mengatakan, diperlukan mitra yang kuat, sebagaimana halnya kemitraan antara pemilik sawah (negara selaku pemilik ladang migas) dan penggarap dalam hal ini Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang memiliki kekuatan finansial, teknologi, dan kemampuan memikul risiko yang cukup.

"Dengan begitu tercipta kemitraan yang harmonis sehingga migas tidak lagi semata-mata dilihat dari sudut penerimaan negara dari sektor hulu migas, melainkan juga dalam upaya untuk pengurangan defisit belanja energi di sektor hilir," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement