EKBIS.CO, JAKARTA – Biaya produksi garam lokal yang cukup tinggi tak sebanding dengan biaya produksi. Untuk itu petambak garam meminta kepada pemerintah untuk menggelontorkan subsidi guna meringankan beban ongkos produksi serta mendukung daya saing kualitas garam lokal.
Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) Waji Fatah meminta kepada pemerintah untuk menggelontorkan subsidi bagi petambak. Subsidi yang dimaksud salah satunya dengan membangun infrastruktur yang merata serta pemangkasan tarif arus listrik.
“Kalau arus listrik ini disubsidi, saya yakin sekali petambak semakin produktif karena ongkos produksi bisa ditekan,” kata Waji saat dihubungi Republika, Senin (9/9).
Jika dibandingkan dengan infrastruktur produksi seperti kincir angin yang memang tak membutuhkan biaya, menurut dia penggunaan arus listrik untuk produksi mampu meningkatkan 40 persen produksi. Terlebih hasil produksi garamnya pun dinilai dapat lebih baik.
Selama ini berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebanyak 84 persen garam industri masih dipasok impor. Masifnya pasokan impor ini diklaim pemerintah sebab kualitas garam petambak lokal belum mampu memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan industri. Kadar garam industri salah satunya harus memenuhi kadar NaCl sebesar 97 persen.
Menurut Waji, keberpihakan pemerintah terhadap petambak garam lokal beum terlihat. Selain minimnya subsidi di sektor produksi garam, harga di tingkat petambak juga kerap anjlok bergejolak. Salah satu perkara gejolak harga ini didasarkan belum adanya aturan yang mengikat.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, garam dikeluarkan sebagai salah satu kriteria tersebut. Sehingga harga acuan pembelian pemerintah (HPP) belum dapat disepakati.
“Harusnya harga garam petambak itu Rp 1.200 per kg idealnya, tapi kalau enggak segitu ya minimal Rp 800 per kg lah. Di level itu (Rp 800) kira-kira petambak sudah bisa menutup biaya produksi,” pungkasnya.