EKBIS.CO, JAKARTA – Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengimbau kepada pemerintah untuk menentukan jenis ayam impor Brasil yang masuk. Hal itu agar peternak lokal dapat menyesuaikan pasokan yang dimiliki dengan pasar yang terbagi nantinya dengan produk impor.
Di tengah kondisi kelebihan pasokan ayam lokal akibat impor bibit anak ayam atau day old chicken (DOC) dua tahun lalu, peternak lokal juga dinilai dapat terkena imbas masuknya ayam impor Brasil. Menurut dia, kebijakan impor dari Brasil memang tak dapat ditolak sebab Indonesia kalah di panel sengketa World Trade Organisation (WTO), beberapa waktu lalu. Apabila Indoensia menolak, dikhawatirkan akan ada aksi retaliasi dari Brasil terhadap produk-produk asal Indonesia.
"Kita tidak bisa menutup impor, yang bisa dilakukan pemerintah adalah memproteksi (peternak) ini dengan melobi. Lobi lah itu agar ayam yang masuk tidak CLQ (chicken leq quarter),” kata Rusli saat dihubungi Republika, Ahad (22/9).
Di sisi lain, dia juga mengimbau kepada pemerintah untuk dapat memastikan kehalalan daging ayam Brasil. Menurut dia aspek halal tak menjadi salah satu ketentuan yang dilarang oleh WTO.
Bentuk proteksi lainnya yang perlu dilakukan pemerintah terhadap peternak lokal adalah dengan memperbaiki data peternakan yang akurat. Akurasi data peternakan dengan kebutuhan konsumsi itu, kata Rusli, bakal berpengaruh terhadap mekanisme kebijakan produksi yang dilakukan ke depannya.
“Ini data yang dari dulu sulit sekali diperbaiki, harusnya pemerintah ini responsif dengan ini,” ujarnya.
Di tengah situasi tersebut, sektor usaha peternakan ayam lokal juga dihadapkan pada tantangan pelemahan ekonomi nasional. Dengan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II 2019 yang hanya 5,05 persen dan diprediksi terus menurun hingga 4,9 persen, kata dia, konsumsi ayam nasional juga diprediksi ikut terpengaruh.
Untuk itu dia berharap perhimpunan perternak mandiri dapat melakukan konsolidasi tersendiri untuk mengkaji berapa produksi ayam yang akan dikembangkan. Hal itu dilakukan secara mandiri sambil menunggu upaya konkret pemerintah dalam memperbaiki data produksi dengan kebutuhan yang akurat.
“Memang kondisinya ini bagi peternak mandiri seperti, sudah jatuh tertimpa tangga. Bertubi-tubi memang tantangannya,” kata dia.