EKBIS.CO, JAKARTA -- Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) menyatakan, harga pembelian pemerintah (HPP) garam petambak bisa disesuaikan dengan kadar natrium klorida (NaCl) yang ada. Saat ini petambak mengaku telah mampu menghasilkan produk garam premium lokal (GPL) yang dapat menjawab kebutuhan industri.
Sekretaris Jenderal PPGI Waji Fatah Fadhilah menyampaikan masukan kepada pemerintah yang tengah menggodok garam sebagai bahan pokok, sehingga ke depannya harga garam bisa memiliki HPP. Adapun masukannya yakni menyesuaikan HPP dengan kualitas atau kadar garam yang diproduksi petani.
“Kami sudah ada produksi GPL di sejumlah sentra, NaCl-nya sudah sesuai standar industri nasional. Kami harap HPP-nya disesuaikan lah dengan itu,” ujar Waji saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (6/10).
Berdasarkan catatannya, saat ini harga garam impor industri di level Rp 3.700 per kilogram (kg). Harga tersebut disebut jauh lebih tinggi dibandingkan harga garam petambak lokal. Tercatat, per 6 Oktober 2019 harga garam petambak kw1 di level Rp 220 per kg, kw2 Rp 180 per kg, sedangkan kw3 sayangnya justru disebut Waji tak laku di pasaran.
Padahal secara kualitas, menurut dia garam petambak lokal cukup mumpuni. Salah satu bukti adalah adanya produk GPL yang kadar NaCl-nya berkisar 94-97 persen. Untuk itu dia meminta kepada pemerintah untuk membuat program khusus GPL agar gerakan memproduksi produk premium itu terlaksana secara masif di seluruh sentra produksi garam.
Pihaknya juga mengeluhkan minimnya pembinaan dari pemerintah terhadap petambak lokal. Minimnya pendampingan membuat produksi GPL tak dapat masif dilakukan sehingga produksi garam premium masih cenderung terbatas. Dia menyebut apabila pemerintah memberikan dukungan lebih jauh, petambak dapat menjamin harga jual garam premium petambak dapat diusahakan bisa seimbang dengan harga garam impor.
“Kalau GPL ini jadi program nasional, harga garam industri bisa kita samakan dengan harga garam impor. Syukur-syukur bisa lebih murah,” kata dia.
Pihaknya menyebut, harga GPL saat ini dibanderol masih relatif murah jika dibandingkan garam impor, yakni berkisar Rp 2.500-Rp 2.700 per kg. Bahkan sebagai langkah awal untuk menembus pasar industri, Waji meneruskan, sejumlah petambak menjual GPL dengan harga Rp 800 per kg.
“Kita turunkan dulu harganya biar perusahaan mau dulu pakai garam lokal. Strategi kami begitu agar impornya pelan-pelan bisa ditekan,” pungkasnya.
Berdasarkan statistik Badan Pusat Statistik (BPS), impor garam pada 2018 sebesar 2,8 juta ton atau meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 2,6 juta ton. Volume garam impor tersebut membuat penyerapan garam petambak lokal kian minim sehingga gejolak harga kerap terjadi.
Guna menjaga stabilitas harga garam petambak, Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah menyiapkan garam sebagai komoditas yang masuk dalam kategori bahan kebutuhan pokok. Sehingga diharapkan HPP garam dapat ditentukan dan tidak membuat harga garam petambak berfluktuasi.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, pembahasan garam sebagai bahan pokok belum final dikaji. Perlindungan terhadap petambak yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok Barang Penting itu pun belum rampung.
“Belum rampung,” kata Enggar singkat.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Suhanto menyampaikan, usulan mengenai garam agar dimasukkan sebagai bahan pokok berasal dari semua kalangan, tak hanya petambak. Untuk itu pihaknya mengaku masih akan mengkaji lebih jauh HPP yang sesuai dan tidak memberatkan satu pihak tertentu.
Hanya saja dia mengakui, hingga kini pemerintah belum menemukan angka pasti HPP garam yang sesuai. “Kita masih kaji kan, belum ada angka pastinya berapa. Kalau saya kira-kira, nanti salah ngomong. Ditunggu saja,” pungkasnya.