EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyambut baik upaya restrukturisasi Merpati Nusantara Airlines. Saat ini 10 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bekerja sama untuk mendukung bisnis kargo yang dilakukan Merpati untuk mengembangkan bisnisnya agar bisa terbang kembali.
Meskipun begitu, Budi menegaskan nantinya aspek keselamatan harus menjadi yang utama jika Merpati mampu kembali terbang. "Hanya saja, ini satu maskapai penerbangan syarat dengan keselamatan, modal bsar, SDM cari yang baik," kata Budi, Rabu (16/10) malam.
Budi menegaskan hal tersebut harus dipersiapkan dengan baik. Budi menilai tanpa persiapan yang bagus, pelayanan yang akan diberikan Merpati nantinya tidak akan maksimal.
Sementara itu, Budi nantinya akan memastikan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan mengklarifikasi penerbitan sertifikat operator penerbangan Merpati. "Ada beberapa pesawat, awak-awak. Pesawar yang digunakan adalah pesawat yang sehat," ujar Budi.
Selain itu, Budi menegasakan Merpati nantinya juga harus memiliki kapasitas dan kemampuan yang mumpuni. Terutama untuk mengelola management internal maupun penerbangan.
Saat ini, Maskapai Garuda Indonesia didukung dengan sembilan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya resmi membantu restrukturisasi Merpati Nusantara Airlines. Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara mengatakan sebelumnya Menteri BUMN Rini Soemarno meminta Garuda bagaimana menolong Merpati untuk kembali terbang.
"Kami berpikir sedeehana bagaimana kerja sama operasi supaya kondisi Merpati saat ini tidak drag down atau menarik peformanya Garuda Indonesia," kata Ari di Gedung Kementerian BUMN, Rabu (16/10).
Ari menilai kerja sama tersebut membantu Merpati untuk fokus mendatangkan peluang bisnisnya kembali. Dia menegaskan, Garuda sama sekali tidak merugi atau terbebani namun justru dapat mengembangkan pasar di Indonesia dan internasional.
Sebelumnya, Merpati sudah tak lagi terbang sejak 1 Februari 2014. Kala itu utang dan masalah keuangan Merpati menjadi permasalahan. dari total utang mencapai Rp 10,95 triliun terdiri dari tagihan utang prioritas Rp 1,09 triliun, tagihan tanpa jaminan Rp 5,99 triliun, dan tagihan beberapa pihak mencapai Rp 3,87 triliun.