EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyiapkan peraturan OJK (POJK) terkait sinergi antara induk dengan anak usaha maupun unit usaha syariah (UUS). POJK tersebut dibuat menyambut kewajiban pemisahan unit usaha syariah dari bank induk yang mulai berlaku pada 2023 mendatang.
"POJK itu memungkinan nantinya si UUS dan BUS (Bank Umum Syariah) bisa kerjasama dengan induknya," kata Direktur Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah OJK Deden Firman Hendarsyah, Jumat (25/10).
Deden mengatakan, POJK tersebut menjawab tantangan yang kemungkinan akan dihadapi anak usaha syariah ketika sudah berpisah dari induknya. Menurut Deden, setelah spin-off, ada kemungkinan munculnya BUS berskala aset rendah. Saat ini, hanya ada 5 UUS yang asetnya lebih dari 3 triliun.
Hal ini tentunya akan menyulitkan BUS tersebut untuk membangun kembali sistem dan infrastruktur untuk bisnisnya. Sebab, biaya yang dibutuhkan untuk membangun itu semua akan sangat besar. Sedangkan, aset atau modalnya sudah mengecil karena terpisah dari induknya.
Dengan adanya sinergi ini, BUS bisa lebih berhemat karena bisa menggunakan sumber daya yang dimiliki oleh induknya, termasuk sumber daya manusia hingga teknologi informasi. "POJK ini akan memudahkan UUS yang jadi BUS nanti," kata Deden.
Deden menjelaskan, POJK ini pada dasarnya salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing industri perbankan syariah pascakewajiban spin-off pada 2023. POJK ini medorong pengoptimalan sumber daya Bank Umum untuk menunjang pelaksanaan kegiatan BUS.
Beberapa contoh sinergi yang bisa dilakukan yaitu penggunaan kantor cabang Bank Umum untuk keperluan layanan syariah anak usaha. Selain itu, untuk BUS yang masih berstatus BUKU II, juga bisa diperhitungkan BUKU III mengikuti induk usaha agar masih bisa melakukan layanan perbankan.
Deden pun berharap POJK ini dapat segera diterbitkan pada tahun ini. Menurutnya, spin-off ini menjadi peluang dan momentum membesarkan perbankan syariah. "Harapan kami pada saat spin-off BUS jadi bank yang kuat dan lebih baik," tutur Deden.
Sementara itu, Direktur Syariah Banking CIMB Niaga, Pandji P Djajanegara, mengungkapkan UUS menghadapi sejumlah tantangan untuk melakukan spin-off. Diantaranya dalam hal diversifikasi produk. Menurut Pandji, UUS selalu diminta untuk membuat produk yang berbeda dari induknya.
"Padahal, nasabah hanya butuh produk yang bisa dinikmati di konvensional," kata Pandji.
Selain itu, setelah spin-off UUS juga akan menghadapi kesulitan dalam hal pendanaan. Sebagai contoh, saat mengeluarkan sukuk, UUS CIMB Niaga masih mendapatkan peringkat AAA karena yang dipertimbangkan profil risiko dari bank induk. Namun setelah spin-off, peringkat utang itu tentunya akan turun karena BUS belum memliki profil risiko yang baik.
Untuk itu, lanjut Pandji, setelah spin-off BUS tersebut membutuhkan stimulasi dari regulator. Termasuk, dalam melibatkan perbankan syariah dalam mendukung ekosistem di industri halal.
Kendati demikian, UUS CIMB Niaga sendiri sudah melakukan sejumlah persiapan untuk spin-off. Pandji mengatakan persiapan untuk spin off sudah dilakukan sejak dua tahun lalu mulai dari melengkapi produk hingga perbaikan dari sisi sumber daya manusia.
"Setiap SDM yang ditempatkan di syariah harus yang berkualitas dan diharuskan mampu memberikan penjelasan mengenai layanan syariah kepada nasabah," kata Pandji.
Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) melihat agar dapat bersaing di pasar, perbankan syariah harus memiliki keunikan yang membedakannya dengan perbankan konvensional. Direktur Bidang lnovasi Produk, Pendalaman Pasar, dan Pengembangan Infrastruktur Sistem Keuangan Syariah KNKS, Ronald Rulindo, melihat selama ini, anak usaha syariah bahkan juga bersaing dengan bank induknya.
"Kita harus menekankan unique selling point perbankan syariah itu ada di perlindungan terhadap agama. Selain itu, kita mendorong keuangan syariah untuk bisa terlibat dalam pembiayaan infrastrktur, industri halal serta pemberdayaan UMKM," tutur Ronald.