EKBIS.CO, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pemerintah masih kurang serius dalam penegakkan regulasi jaminan produk halal. Ketua YLKI, Tulus Abadi menyampaikan ini bisa dilihat dari kondisi sekarang.
"Kita lihat pemerintah kurang serius, lima tahun seharusnya cukup untuk transisi, ini harusnya disiapkan infrastrukturnya," katanya dalam diskusi Indonesia Halal Watch di Hotel Morrisey, Jakarta, Senin (6/1).
Kesiapan infrastruktur mulai dari fisik hingga material masih belum sempurna. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai pelaksana mandat UU JPH masih belum dipersenjatai dengan peralatan tempur yang lengkap.
Kantor BPJPH bahkan belum selesai dibangun. Belum lagi kesiapan sumber daya manusia di seluruh Indonesia untuk melayani pembuatan sertifikasi halal. Tulus menilai ketidaksiapan ini mengancam perlindungan konsumen.
"Jika sudah diundangkan tapi di lapangan belum siap, itu jadi masalah baru dan kontraproduktif," katanya.
UU JPH diharapkan akan menjadi hukum positif yang tidak mengganggu keberlangsungan bisnis pelaku usaha dalam upaya pelaksanaannya. Sehingga tujuan sebenarnya yakni menguatkan industri halal Indonesia bisa terlaksana.
Apalagi saat ini permintaan sertifikasi halal semakin meningkat, tidak hanya dari produk dalam negeri tapi juga negeri. Ia mengklaim permintaan sertifikasi halal dari produk Cina meningkat hingga 90 persen.
Maka dari itu kesiapan semua stakeholder terutama pemerintah, dalam hal ini BPJPH sangat mendesak. Staf Ahli Wakil Presiden Indonesia, Lukmanul Hakim menegaskan bahwa UU JPH bukan tentang mengakuisisi tugas dari lembaga sertifikasi yang sudah ada yakni LPPOM MUI oleh BPJPH.
"Intinya sama, yang melakukan sertifikasi tetap LPPOM MUI, pemerintah atau BPJPH hanya melakukan tugas pencatatan administrasi, di awal dan akhir," katanya.
BPJPH akan menerima permintaan sertifikasi halal dan melimpahkan tugas untuk mensertifikasi pada LPPOM MUI. Kemudian, LPPOM MUI menyerahkan kembali hasilnya pada BPJPH untuk kemudian disampaikan pada pelaku usaha.