EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang (IBS) sepanjang 2019 melambat dibandingkan 2018 dan 2017. Pada 2017, pertumbuhannya adalah 4,74 persen, sementara 2018 menjadi 4,07 persen dan terakhir menjadi 4,01 persen pada 2019.
Penyebabnya, terjadi dinamika ketidakpastian di ekonomi global yang berdampak terhadap tingkat permintaan ekspor produk IBS Indonesia.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah menuturkan, pangsa pasar IBS asal Indonesia banyak berasal dari luar negeri. Terutama untuk jenis industri makanan dan minuman yang berkontribusi 23,57 persen terhadap IBS sepanjang tahun lalu.
"Itu salah satunya kenapa IBS kita bisa sampai 4,01 persen," tuturnya ketika ditemui usai konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (3/2).
Salah satu jenis industri manufaktur yang mengalami pertumbuhan produksi tertinggi sepanjang 2019 terhadap tahun 2018 adalah industri pencetakan dan reproduksi media rekaman, yaitu hingga 19,58 persen. Tapi, karena kontribusinya terhadap total produksi IBS hanya 0,63 persen, dampaknya tidak terlalu signifikan.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, pertumbuhan produksi signifikan pada jenis industri tersebut dikarenakan ada kegiatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Momentum ini menyebabkan tingkat permintaan hasil industri percetakan meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kondisi kontras terjadi pada industri karet, barang dari karet dan plastik yang mengalami penurunan tajam. Pertumbuhan produksi sepanjang 2019 industri ini harus kontraksi 14,71 persen. "Kita ketahui, harga karet tidak begitu menggembirakan dan banyak penyakit yang menyebabkan produksi (karet) terpengaruh," ujar Suhariyanto.
Kondisi IBS berbeda dibandingkan industri mikro dan kecil (IMK) yang terus tumbuh sepanjang tiga tahun terakhir. Pada 2017, nilai pertumbuhannya baru 4,74 persen yang kemudian naik menjadi 4,86 persen pada 2018. Terakhir, pada tahun lalu, pertumbuhannya menyentuh 5,80 persen.
Sama seperti IBS, share produksi IMK terbesar disumbang oleh industri makanan, yaitu hingga 20,44 persen dengan pertumbuhan 7,18 persen sepanjang 2019. Kontributor yang besar juga diberikan dari industri pakaian jadi, yakni 11,68 persen. Tapi, tingkat pertumbuhannya masih lebih rendah dibandingkan industri makanan, yaitu sebesar 4,86 persen.
Di sisi lain, ada beberapa jenis industri yang mengalami kontraksi dari sisi produksi. Sebut saja industri peralatan listrik yang mengalami pertumbuhan negatif 17,08 persen dengan kontribusi hanya 0,10 persen terhadap keseluruhan produksi IMK.
Suhariyanto mengatakan, meski pertumbuhan IMK besar, kontribusinya terhadap ekonomi Indonesia masih kecil. Oleh karena itu, dibutuhkan dorongan dari pemerintah dan pemangku kepentingan lain untuk memaksimalkan peranan IMK. "Sehingga, semakin banyak juga kita menyerap tenaga kerja," ujarnya.