Jumat 13 Mar 2020 05:58 WIB

Apindo: Rencana Stimulus ke Industri Manufaktur Tepat

Industri manufaktur berkontribusi terhadap PDB Indonesia sebesar 72 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Manufaktur(Republika/Mardiah)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Manufaktur(Republika/Mardiah)

EKBIS.CO, JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyambut baik rencana pemerintah untuk memberikan stimulus fiskal maupun non fiskal yang fokus terhadap sektor manufaktur. Sebab, menurutnya, pengolahan menjadi sektor yang terkena pukulan paling keras akibat virus corona.

Berdasarkan catatan Hariyadi, sektor manufaktur mengalami masalah karena kegiatan perdagangan Indonesia dengan China terbilang besar. Ketika virus corona menyebar hingga membuat produksi di sana terhambat dan berdampak pada daya beli masyarakat sana, industri Indonesia otomatis terdampak.

Baca Juga

Industri berupaya menahan laju produksi karena kekurangan bahan baku dari China. Sementara itu, kegiatan ekspor pun terhambat mengingat konsumsi China melambat.

"Jadi, memang luar biasa dampak virus corona ini," ucapnya ketika ditemui Republika.co.id usai konferensi pers di Jakarta, Kamis (12/3).

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja impor non migas dari China pada Januari 2020 mengalami kontraksi 4,06 persen dibandingkan Januari 2019 (year on year/yoy). Di antaranya besi dan baja tumbuh negatif 39,47 persen, sementara mesin-mesin pesawat mekanik juga mengalami kontraksi 2,80 persen.

Hariyadi mengatakan, kondisi itu menggambarkan bahwa industri manufaktur Indonesia menahan laju impor bahan baku. Bukan karena sukarela, melainkan karena mereka memang kesulitan mendapatkan barang untuk berproduksi.

"Pemerintah sudah harus membuat relaksasi, kemudahan agar industri mudah impor, terutama dari negara selain China, dan pengurangan pajak impor," katanya.

Berbeda dengan impor, kinerja ekspor ke China pada Januari sebenarnya mengalami pertumbuhan 21,17 persen. Tapi, jika dilihat dari golongan barang, ekspor lemak dan minyak hewan nabati dari Indonesia ke China sebenarnya kontraksi sampai 52,66 persen dibandingkan Januari 2019. Ekspor bijih, terak dan abu logam juga kontraksi 42,53 persen.

Kondisi ekspor ini berpotensi semakin kontraksi pada neraca dagang Februari dan Maret. Tidak hanya ke China, juga ke negara lain yang juga sudah mulai terdampak corona pada dua bulan tersebut. Artinya, Hariyadi menilai, pendapatan industri dari ekspor berpotensi turun jauh dibandingkan tahun lalu.

Hariyadi mengatakan, berbagai kondisi itu berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi di tahun ini. Sebab, kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai lebih dari 72 persen.

Hariyadi memprediksi, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 hanya mampu tumbuh 4,5 persen. Angka ini jauh di bawah proyeksi semula Apindo, 5,2 persen, maupun target pemerintah dalam Undang-Undang APBN 2020, 5,3 persen.

"Perkiraan kami, setelah dampak corona, kalau bisa mencapai 4,5 persen saja sudah bagus," katanya.

Hariyadi menekankan, target 4,5 persen dapat tercapai apabila masyarakat tidak panik dalam menghadapi virus corona. Artinya, masyarakat tetap melakukan konsumsi seperti biasa. Selain itu, pemerintah juga melakukan belanja untuk mendorong kegiatan ekonomi.

Faktor lain yang juga menentukan adalah belanja pada bulan puasa yang jatuh pada April dan Lebaran pada Mei. "Kalau memang tidak ada pembelian luar biasa, ya di sekitar 4,5 persen saja tumbuhnya," katanya.

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement