EKBIS.CO, JAKARTA – Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kemenko Perekonomian Bambang Adi Winarso memproyeksikan, aktivitas impor bahan baku dan barang modal akan perlahan membaik pada April. Sebab, produksi di China, termasuk Wuhan sebagai pusat industri, mulai berjalan kembali.
Bambang mengatakan, pengusaha juga sudah mulai mengetahui dan memetakan pemasok alternatif bahan baku dan barang modal, meskipun memang butuh waktu untuk melakukan substitusi. "Kita lihat dulu perkembangan bulan ini dan bulan depan, apakah sudah mulai lancar (arus impor)," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (17/3).
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor bahan baku dan barang modal pada bulan lalu mengalami penurunan signifikan dibandingkan Januari 2020. Sementara pengiriman bahan baku ke Indonesia turun 15,89 persen menjadi 8,89 miliar dolar AS, barang modal lebih besar, yaitu kontraksi 18,03 persen menjadi 1,83 miliar dolar AS.
Penurunan juga terlihat apabila dibandingkan Februari 2019 atau secara year on year (yoy). Impor barang bahan baku turun 1,50 persen, sedangkan impor barang modal kontraksi 16,44 persen.
Bambang menyebutkan, penurunan impor kebutuhan industri pada Februari dikarenakan adanya pembatasan mobilitas di China, sehingga manufaktur dan logistik ikut terhambat. Tapi, kini, mobilitas sudah mulai bergerak walaupun belum signigikan.
Bambang mengakui, kondisi tersebut menghambat kinerja industri. Selain dari sisi impor, kinerja ekspor pun terhambat mengingat permintaan dari China ikut menurun seiring dengan kebijakan lockdown.
"Besaran dampaknya tergantung dari tiap industri dalam menghadapi shock ini," tuturnya.
Dari data BPS, China menjadi importir terbesar bahan baku dan barang modal ke Indonesia pada Februari 2020. Nilai impor bahan baku dari Negeri Panda tersebut mencapai 1,12 miliar dolar AS atau berkontribusi 15,63 persen terhadap keseluruhan impor bahan baku bulan lalu.
Peranan China terhadap Indonesia dari sisi barang modal justru lebih besar. Nilai impornya pada Februari adalah 691 juta dolar AS atau 37,82 persen dari total impor barang modal di bulan yang sama.
Untuk menghadapi penurunan impor, pemerintah mengeluarkan stimulus non fiskal kepada industri manufaktur pekan lalu. Stimulus itu berupa kemudahan mengimpor bahan baku dengan menghilangkan larangan dan pembatasan (lartas) sejumlah komoditas, termasuk dari China.
Selain itu, pemerintah juga meringankan beban berupa penundaan Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor selama enam bulan. Dengan kebijakan ini, dunia usaha tidak perlu membayar pajak impor dari periode April hingga September.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, stimulus tersebut belum lengkap untuk mendorong industri dalam negeri. Sebab, kebijakan itu tidak mendorong bagaimana industri dapat memanfaatkan peluang yang ada saat ini.
Di tengah penurunan impor dan kinerja industri yang sulit, kini menjadi momentum tepat untuk membangun industri bahan baku. Memperbaiki rantai pasok di dalam negeri dan mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan impor barang konsumsi harus menjadi prioritas masyarakat.
"Jadi, strategi substitusi impor dapat berjalan," ujar Heri.
Substitusi memang butuh waktu. Tapi, Heri mengatakan, kini pemerintah mulai bisa mencicilnya dengan melakukan diplomasi secara bilateral dengan negara-negara yang memungkinkan mengambil peran China dalam menyuplai bahan baku ke Indonesia.
Pemerintah juga bisa memetakan seberapa besar harga impor dan ongkos logistik dari negara lain. "Di sinilah, pemerintah bisa mengambil kebijakan untuk mempermudah mendatangkan bahan baku dari negara lain," kata Heri.