EKBIS.CO, JAKARTA — Asuransi pertanian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan pertanian. Untuk itu, diperlukan cara pandang yang bersifat holistik agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Hal tersebut disampaikan guru besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Prof Dr Nunung Nuryartono. Ia merespons hasil realisasi penyaluran Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) Kementerian Pertanian hingga April 2020 yang tercatat mencapai 333.505 hektare atau 41,69 persen dari target 1 juta hektare tahun tahun ini.
“Pengalaman negara-negara lain, asuransi pertanian merupakan bagian dari strategi pembangunan ekonomi. Persoalan mendasar dan karakteristik industri asuransi termasuk di dalamnya asuransi pertanian adalah proses penyeleksian dan moral hazards,” kata Nunung dalam keterangannya kepada Republika.co.id di Jakarta, Kamis (28/5).
Untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaannya, dekan FEM IPB University ini menilai pemanfaatkan teknologi digital akan memudahkan proses-proses yang transparan dan akuntabel.
Selain itu, kata dia, bisa digunakan melihat dari sisi supply, terutama para penyedia asuransi pertanian harus benar-benar memahami bagaimana proses bisnis di sektor pertanian. Termasuk di dalamnya, kata dia, perhitungan resiko secara cermat yang pada akhirnya juga berimplikasi pada besaran premi yang akan dikenakan.
“Lalu dari demand side, edukasi, sosialisasi menjadi kata kunci agar petani, peternak dan nelayan memiliki literasi yang baik terhadap asuransi pertanian. Dengan demikian dua sisi ini harus digarap bersama-sama,” katanya sambil menyarankan untuk asuransi pertanian, terutama padi di Indonesia, harus dapat mencakup keseluruhan areal tanam padi di seluruh wilayah Indonesia.
Ia juga menyarankan, terkait program asuransi pertanian dalam skema yang dikembangkan oleh pemerintah ini harusnya bisa memberikan subsidi premi. Hal yang perlu disempurnakan, kata dia, berapa besaran subsidi yang optimal yang harus diberikan oleh pemerintah tanpa kemudian memunculkan persoalan moral hazards.
“Pengalaman di Amerika menjadi pelajaran berharga ketika penentuan besaran premi dalam upaya meningkatkan partisipasi petani untuk mengikuti program asuransi pertanian,” jelasnya.
Nunung juga meminta, program ini seharusnya tidak hanya terfokus pada satu produk komoditas seperti padi saja. Ia menyarankan agar kebijakan ini dapat juga dikembangkan pada komoditas yang diusahakan oleh petani, peternak, dan nelayan.
“Beberapa contoh negara maju seperti Australia, Amerika melakukan perlindungan dengan skema asuransi mencakup berbagai komoditas pertanian, demikian juga negara berkembang seperti Thailand,” tuturnya.
Nunung menegaskan juga dalam konteks asuransi pertanian, sesungguhnya hal ini menjadi amanat UU Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Salah satu programnya adalah melakukan penerapan asuransi pertanian di Indonesia.
“Di dalam undang-undang ini, asuransi pertanian dijadikan sarana untuk melindungi petani dari risiko bencana alam, serangan organisme pengganggu tumbuhan, wabah penyakit hewan menular, dampak perubahan iklim dan/atau jenis risiko-risiko lainnya,” tuturnya.