EKBIS.CO, JAKARTA -- Kinerja emiten tambang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami penurunan pada kuartal I-2020. Adapun emiten yang telah mengeluarkan laporan keuangannya yaitu PT Timah Tbk (TINS) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
Berdasarkan laporan keuangan, TINS tercatat mengalami rugi bersih hingga Rp 412,86 miliar. Pada periode yang sama tahun lalu, TINS mampu membukukan laba bersih sebesar Rp 301,27 miliar.
"Penurunan tersebut disebabkan menukiknya harga logam timah yang merupakan dampak pandemi Covid-19," kata Sekretaris Perusahaan, Abdullah Umar Baswedan, Selasa (23/6).
Adapun, pendapatan TINS mengalami kenaikan sebesar 5,2 persen pada kuartal I-2020, menjadi Rp4,3 triliun. Namun, beban pokok pendapatan tercatat naik pada kuartal I-2020 sebesar 34,9 persen menjadi Rp4,5 triliun.
Pada kuartal II-2020, manajemen TINS pun memperkirakan pendapatan perusahaan berpotensi tumbuh negatif. Penurunan pendapatan utamanya disebabkan oleh menurunnya harga komoditas. Perusahaan mengakui harga komoditas sekarang sangat tidak stabil.
"Saat ini terdapat risiko yang tinggi bahwa harga logam timah akan mengalami fluktuasi yang cukup signifikan," tulis TINS dalam laporan keuangan yang dirilis melalui keterbukaan informasi.
Untuk mengatasi itu, TINS berencana menurunkan biaya produksi. Perseroan memiliki rencana untuk terus melakukan efisiensi diantaranya dengan peremajaan alat-alat produksi. Selain itu perseroan juga memperhitungkan kebutuhan permintaan dan penawaran logam timah di pasar dunia.
Perubahan kondisi pasar akibat Covid-19 memaksa TINS untuk beradaptasi dengan melakukan sejumlah strategi efisiensi, diantaranya memangkas operational expenditure sebesar 30 persen, sedangkan capital expenditure diprioritaskan kepada yang mendukung pencapaian target produksi.
Untuk menekan beban bunga, TINS menyiasati pembayaran bijih timah kepada pemasok melalui mekanisme “Supply Chain Facility” dengan melibatkan pihak bank, sehingga beban bunga atas fasilitas tersebut ditanggung pihak pemasok. Strategi ini dinilai cukup efektif untuk memperbaiki performa finansial TINS di waktu yang akan datang.
TINS pun berencana melunasi hutang obligasi jangka pendek sebesar Rp600 miliar yang jatuh tempo pada akhir September 2020. "Sudah kita siapkan sejumlah dana dalam rangka de-leveraging dengan melunasi kewajiban yang segera jatuh tempo di tahun ini," ujar Abdullah.
Sementara itu, kinerja PT Bukit Asam Tbk (PTBA) juga mengalami tekanan pada kuartal I-2020. Pendapatan dan laba bersih perseroan tercatat mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Berdasarkan laporan keuangan PTBA, emiten pelat merah ini mencatatkan pendapatan senilai Rp5,12 triliun atau turun sebesar 4,01 persen secara tahunan. Sedangkan pada periode yang sama 2019, PTBA mampu meraih pendapatan senilai Rp5,33 triliun.
Adapun laba bersih tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk turun sebesar 20,5 persen atau hanya senilai Rp903,24 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya laba bersih PTBA mencapai Rp1,13 triliun.
Direktur Utama PTBA, Arviyan Arifin, mengakui penurunan kinerja keuangan perseroan diakibatkan oleh melemahnya permintaan karena terdampak Covid-19. "Betul ada pengaruh Covid-19 sehingga melemah di kuartal I-2020N," kata Arviyan.
Meski demikian, Arviyan optimistis, kinerja perusahaan akan mulai membaik pada kuartal II-2020. Perbaikan kinerja tersebut, menurut Arviyan, sejalan dengan diberlakukannya New Normal segingga akan berdampak terhadap peningkatan permintaan batu bara.
Kepala riset Samuel Sekuritad, Suria Dharma, menilai penyebaran Covid-19 China cukup berdampak signifikan terhadap performa emiten tambang pada kuartal I-2020. Pasalnya, kebanyakan pembeli hasil tambang Indonesia mayoritas berasal dari China.
"Sehingga dengan adanya Covid-19 di kuartal I-2020 disana berpengaruh kepada demand," kata Suria.
Sementara itu, Direktur PT Anugerah Mega Investama, Hans Kwee, melihat kinerja emiten tambang di kuartal II-2020 berpotensi semakin memburuk. Menurut Hans, penyebab utamanya yaitu penurunan harga komoditas akibat Covid-19.
"Kemungkinan lebih jelek karena harga komoditas tertekan turun pas Covid-19 mencapai puncak di Mei 2020," tutup Hans.