EKBIS.CO, JAKARTA -- Kilang LNG Bontang sempat terancam tak dapat pembeli setelah konsorsium perusahaan jepang, Western Buyer Extention (WBX) telah mengakhir kontraknya pada Desember tahun ini. Namun, untuk bisa tetap beroperasi Badak LNG sudah mengantongi kontrak baru meski tak sebesar serapan dari WBX.
"Kontrak WBX memang sudah berakhir. Namun kita sudah dapat kontrak baru dengan Shell dan Khyusu," ujar Kepala Divisi Komunikasi SKK Migas, Susana Kurniasi kepada Republika.co.id, Ahad (13/9).
Susana menjelaskan Kyushu merupakan salah satu perusahaan yang menjadi bagian dari konsorsium WBX tersebut. Namun, kontrak baru yang dibuat oleh Kyushu terpisah dan merupakan kontrak baru untuk penyerapan LNG Bontang ini.
Ia menjelaskan untuk tahun 2021 dan 2022 Kyushu akan menyerap masing masing satu kargo tiap tahunnya. Selain Kyushu, Susana juga menjelaskan Shell juga akan menyerap pasokan LNG Bontang ini. Shell berkomitmen untuk menyerap LNG Bontang dari tahun depan sampai 2025 mendatang dengan total serapan 25 kargo.
"Telah ada komitmen dengan Kyushu untuk periode 2021-2022 masing-masing 2 kargo. Selain itu, terdapat deal dengan Shell untuk periode 2021-2025 total 25 kargo," ujar Susana.
Berakhirnya kontrak WBX atas serapan LNG Bontang memang menjadi pukulan telak bagi Indonesia. Sebab, WBX merupakan buyer terbesar LNG Indonesia selama ini. Padahal LNG Bontang yang dikelola oleh Badan LNG Indonesia ini merupakan penampung dari semua produsen gas di Kalimatan.
Selain tak adanya buyer sebesar WBX kesulitan Badak dari sisi pasokan gas terjadi lantaran produksi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Kalimantan Timur turun drastis. Blok Mahakam yang sekarang dikelola oleh PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) eks Total E&P Indonesie (TEPI) yang dulu jadi pemasok andalan ke kilang LNG Bontang hanya berproduksi sekitar 580 juta kaki kubik per hari (mmscfd), sedangkan Blok Sanga-sanga, ex-Vico, yang sekarang dikelola PHSS (Pertamina Hulu Sanga-sanga) berproduksi sekitar 75 mmscfd, dan Blok East Kalimantan yang dikelola oleh PHKT (Pertamina Hulu Kalimantan Timur) ex-Chevron East Kalimantan berproduksi sekitar 5 mmscfd. Pasokan gas sempat tertolong dengan kehadiran ENI yang memasok gas dari Blok Jangkrik, sebesar 470 mmscfd, dan Chevron Blok Bangka sebesar 35 mmscfd.
Kesepakatan jual beli LNG antara Pertamina dan WBX dilakukan pada 1973. Saat itu ada lima perusahaan yang sepakat membeli LNG Chubu Electric Co., Kansai Electric Power Co., Kyushu Electric Power Co., Nippon Steel Corp dan Osaka Gas Co. Ltd.. Dari hasil kesepakatan itu juga akhirnya terbangun kilang LNG pertama di Indonesia yang dibangun di Bontang dan waktu itu dibangun hanya dalam waktu 42 bulan.
Toho Gas Co pada 1981 juga ikut menandatangani kesepakatan pembelian LNG dari Bontang. Kemudian pada 2009 Pertamina dan para perusahaan Jepang terrsebut sepakat agar kontrak jual beli LNG menjadi satu kontrak.
Pada 1981 ada dua konsumen lain yakni Tokyo Ekectric dan Tohoku Electric juga ikut tandatangani kontrak 20 tahun pembelian LNG dengan Pertamina. Pada tahun 1984 Indonesia menyalip Algeria sebagai negara No 1 pengekspor gas dunia. Selama hampir 20 tahun sejak saat itu Indonesia menjadi negara eksportir terbesar LNG melalui kesepakatan dengan WBX tersebut.