EKBIS.CO, JAKARTA -- Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Mukhaer Pakkana mengatakan sektor industri manufaktur nasional memiliki kesempatan bangkit saat pandemi Covid-19. Hal itu karena beralihnya selera pasar yang lebih cenderung menyukai produk-produk lokal.
"Hasil survei McKinsey menunjukkan 69 responden cenderung menggunakan produk lokal selama masa pandemi," katanya pada seminar web bertajuk 'Strategi Menyelamatkan Industri Manufaktur di Tengah Kondisi Pandemi Covid-19' di Jakarta, Rabu (23/9).
Mukhaer mengemukakan kontribusi industri manufaktur Indonesia terus berkurang dari 28 persen pada 2008 dan puncaknya pada 2019 hanya sebesar 17 persen. Pemicunya, menurut dia, di antaranya karena pelarian industri yang sebelumnya beroperasi di suatu area; hilangnya daya saing, tenaga kerja terampil, dan pelarian modal; serta perubahan pola belanja masyarakat dari barang (commodity) ke jasa (pleasure).
Kecenderungan merosotnya kontribusi industri manufaktur, jelas Mukhaer, juga bisa dilihat dari angka Purchasing Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia sebesar 28,55 persen pada kuartal II 2020, turun dari 45,64 persen pada kuartal I 2020 dan 52,66 persen pada kuartal II 2019.
Karenanya, ia menyarankan pemerintah mepribumikan industri dengan mengedepankan kebijakan inward looking economy dan menerapkan teknologi produksi yang mengurangi ketergantungan impor dan mengembangkan produk lokal.
"Kembangkan ekonomi 'Dari Kita, Oleh Kita, dan Untuk Kita' dengan berbasis community marketplace," kata Mukhaer.
Ia juga menyarankan pemerintah mengoptimalkan instrumen lembaga keuangan lokal berdasarkan local wisdom, seperti koperasi, LKM, kelompok arisan, dan sebagainya.
Untuk mengganti ketergantungan pada produk-produk impor, Mukhaer menyarankan dilakukan pengembangan industri substitusi impor karena bisa menghemat devisadan juga sudah banyak industri substitusi impor nasional yang kualitas produksinya tidak kalah dengan produk impor.
Mukhaer merinci ada tujuh sektor yang potensial mendorong substitusi impor, yaitu elektronik, otomotif, kimia, makanan dan minuman, tekstil dan busana, farmasi, dan alat kesehatan (alkes).
"Pemerintah harus mendorong kapasitas dan permintaan dalam negeri untuk produk lokal," tuturnya.
Sementara Manufacturing Director PT Solusi Bangun Indonesia Tbk Lilik Unggul Raharjo dan Business Development Indonesia Packaging Federation (IPF) Ariana Susanti yang tampil dalam webinar tersebut menyampaikan optimisme dalam menghadapi masa depan industri manufaktur di Tanah Air.
"Seperti kebanyakan negara, pandemi Covid-19 telah menurunkan proyeksi GDP masing-masing negara, tetapi kami optimistis industri manufaktur akan kembali tumbuh di 2021," jelas Lilik.
Adapun Ariana menyampaikan bahwa masa pandemi justru industri kemasan menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan. Menurut dia, hal ini tidak terlepas dari berkembangnya ekonomi digital di masa pandemi.
"Porsi ekonomi digital Indonesia menjadi yang terbesar di Asia Tenggara pada 2025, diproyeksi mencapai 133 miliar dolar AS atau Rp 1.826 triliun," terang Ariana.