Jumat 09 Oct 2020 06:25 WIB

SPI: UU Cipta Kerja Ancam Keberlangsungan Petani Kecil

Sejumlah ketentuan yang selama ini mendukung petani indonesia dihapus.

Rep: M Nursyamsi/ Red: Friska Yolandha
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan undang-undang (UU) Cipta Kerja yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengancam petani sebagai aktor utama pembangunan pertanian di Indonesia.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan undang-undang (UU) Cipta Kerja yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengancam petani sebagai aktor utama pembangunan pertanian di Indonesia.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan undang-undang (UU) Cipta Kerja yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengancam petani sebagai aktor utama pembangunan pertanian di Indonesia. Henry menjelaskan, UU Cipta Kerja juga mengabaikan petani yang menjadi tulang punggung pembangunan pertanian di Indonesia, para petani gurem atau skala kecil, dengan rata-rata luas usaha tani kurang dari 0,5 hektare, dan bahkan petani yang tidak memiliki lahan atau petani penggarap.

"Bentuk ancaman tersebut dapat dilihat dari dihapusnya beberapa ketentuan yang selama ini mengutamakan petani Indonesia sebagai produsen utama pangan di Indonesia dan proteksi terhadap impor pangan yang merugikan petani," ujar Henry dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (8/10).

Henry mengatakan UU Cipta Kerja menghapus beberapa ketentuan dalam undang-undang yang sudah lebih dulu ada yang sudah berpihak kepada petani kecil. Henry memaparkan sejumlah UU yang dihapus oleh UU Cipta Kerja seperti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 Tahun 2013 pada Pasal 15 ayat (2) dalam UU Perlintan yang dihapus sehingga tidak ada lagi ketentuan yang mewajibkan mengutamakan produksi pertanian dalam negeri.

Kemudian, Pasal 30 UU Perlintan diubah sehingga tidak ada ketentuan yang melarang impor komoditas pertanian pada saat ketersediaan pangan dalam negeri sudah mencukupi. Serta Pasal 101 UU Perlintan dihapus sehingga tidak ada sanksi bagi orang/pihak yang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan pangan dalam negeri sudah mencukupi.

Selain itu, dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, kata Henry, Pasal 1 angka 7 dalam UU Pangan diubah sehingga frasa ‘impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan’ dihapuskan dan diganti menjadi ‘impor pangan’ saja. Pasal 14 ayat (1) ditambahkan frasa ‘impor pangan’ dalam UU Cipta Kerja, sehingga sumber penyediaan pangan dapat berasal dari impor pangan. 

"Hal ini berimplikasi pada ayat (2) di pasal yang sama, di mana ketentuan impor pangan yang sebelumnya diperbolehkan hanya apabila sumber penyediaan pangan (produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional) dihapuskan," ucap Henry. 

Henry juga menyoroti Pasal 15 ayat (1) dalam UU Pangan yang diubah. Ia menyebut UU Cipta Kerja menghapuskan frasa 'mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan'.

Kalimat 'yang tidak berdampak negatif' dalam pasal 39 yang berbunyi ‘pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil’ diubah dalam UU Cipta Kerja, sehingga berbunyi: ‘Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani, Peningkatan kesejahteraan petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil’.

Pun dengan UU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Hortikultura dalam Pasal 63 UU Hortikultura dihapus UU Cipta Kerja sehingga tidak lagi diatur pemasukan dan pengeluaran benih ke dan dari wilayah negara Republik Indonesia wajib mendapatkan izin. 

"Hal ini berarti benih komersial dari luar bebas masuk dan beredar di wilayah Indonesia," ungkap Henry. 

Henry melanjutkan Pasal 92 UU Hortikultura yang diubah dengan memasukkan frasa ‘asal impor’ dalam pasal tersebut. Akibatnya ketentuan yang mengikat penyelenggara pasar dan tempat lain untuk mengutamakan penjualan produk hortikultura lokal tidak berlaku lagi. Hal ini dikhawatirkan akan membuat tertindasnya nasib petani dengan tanaman hortikultura di Indonesia, mengingat data NTP Indonesia pada 2020 menunjukkan NTP subsektor Hortikultura terus menurun; Pasal 100 UU Hortikultura disederhanakan sehingga berpotensi menabrak Putusan Mahkamah Konstitusi RI nomor 2140/20/PUU/2014 tentang Uji Materi UU 13/2010 Hortikultura. Putusan MK tersebut menyebutkan besarnya penanaman modal asing dibatasi paling banyak 30 persen. 

Henry menilai UU Cipta Kerja tidak mencantumkan lagi pembatasan terkait modal asing yang diperbolehkan, dan baru akan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Henry menambahkan, SPI akan selalu berada di garda terdepan dalam hal ini, ketika ada peraturan yang semakin memiskinkan, menyengsarakan, menghilangkan keberlangsungan petani kecil.

"Petani tolak UU Cipta Kerja," kata Henry menambahkan. 

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement