EKBIS.CO, JAKARTA -- Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar menjelaskan sejumlah aspek dari Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker) kepada para pelaku bisnis dari Amerika Serikat, terutama terkait lingkungan dan ketenagakerjaan, yang disebut menjadi kekhawatiran sejumlah negara.
Dalam acara ‘Indonesia-US Virtual Business Meeting’ yang diselenggarakan secara daring pada Jumat, Wamenlu Mahendra menjelaskan pihaknya telah menerima sejumlah surat, pesan, dan surat terbuka dari sejumlah negara di dunia, termasuk 36 portofolio investors dan 23 perusahaan dan asosiasi yang telah menjadi pembeli dari produk-produk ekspor asal Indonesia.
“Kekhawatiran yang dimiliki oleh pihak-pihak ini kebanyakan fokus pada dua elemen dari Omnibus Law, yakni terkait lingkungan dan isu-isu ketenagakerjaan,” ujar dia.
Wamenlu menjelaskan kepada para peserta dialog bisnis tersebut bahwa UU Ciptaker merevisi sekitar 80 undang-undang lain yang telah ada, guna memperbaiki kepastian hukum dan untuk menangani ketidakselarasan antara undang-undang, serta menyederhanakan semua aktivitas bisnis, termasuk prosedur investasi.
Terkait isu lingkungan, dia menegaskan bahwa pasal 22 UU Ciptaker tetap mengharuskan penanam modal untuk melakukan analisis dampak lingkungan (AMDAL) sebelum bisa mendapatkan izin usaha.
“Analisis dampak lingkungan harus dilakukan secara ilmiah dan melibatkan semua pemangku kepentingan yang relevan termasuk komunitas lokal yang berada di sekitar area proyek. Apabila analisis tidak dilakukan, maka izin usaha akan dicabut,” jelas Mahendra.
Pasal yang sama, lanjut dia, juga mengharuskan penanam modal untuk menyediakan pendanaan rehabilitasi lingkungan yang akan dialokasikan untuk merehabilitasi alam dari dampak berat yang mungkin terjadi akibat proyek investasi.
Selain itu, Wamenlu juga menyinggung pasal 36 UU Ciptaker yang memegang nilai strategis dari hutan tropis untuk melawan perubahan iklim, degradasi ekosistem dan kepunahan hayati.
Omnibus Law juga mengubah UU nomor 31/1999 untuk memasukkan penginderaan jauh tingkat lanjut sebagai dasar untuk menetapkan batas hutan, yang dikatakan akan membantu untuk mencapai tindakan yang lebih baik dalam mitigasi perubahan iklim, terutama untuk memerangi kebakaran hutan dan degradasi lahan.
Adapun terkait isu ketenagakerjaan, yang disebut Mahendra penting untuk diklarifikasi terutama bagi perusahaan-perusahaan AS yang menghadiri pertemuan tersebut, dijelaskan bahwa pasal 81 Omnibus Law memastikan jam kerja yang layak dengan tetap memberlakukan pembatasan sebagaimana dituliskan dalam pasal 77 UU nomor 13/2003, yakni tidak melebih 48 jam per pekan dan dimandatkan oleh Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO).
“UU ini juga menetapkan jam kerja yang fleksibel bagi sejumlah sektor termasuk ekonomi digital, menjamin cuti untuk melahirkan, menyusui saat jam kerja, dan cuti untuk keperluan keluarga dan keagamaan,” paparnya.
Selain itu, dia menegaskan bahwa kebebasan berasosiasi dan hak serikat pekerja untuk mewakili anggotanya tetap terjamin, adanya pengaturan gaji minimal untuk pemenuhan kebutuhan dasar, syarat-syarat pemutusan hubungan kerja dan periode pemberitahuan yang relevan sesuai konvensi 158 ILO, dan tetap adanya pembayaran pesangon.
Mahendra menjelaskan bahwa isu-isu yang dibahas tersebut merupakan fokus dari kehawatiran 59 penanam modal dan perusahaan.
“Saya secara pribadi akan mengirim pesan kepada 59 pihak ini untuk menjelaskan apa saja yang ada dan tidak ada dalam Omnibus Law,” kata Mahendra.
“Begitu pula Kedutaan-Kedutaan Besar dan Konsulat Jenderal Indonesia di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat dalam hal ini, akan berhubungan dengan perusahaan-perusahaan dan asosiasi untuk memberikan pemahaman terkait Omnibus Law dan apa yang seharusnya menjadi fokus bagi para pemangku kepentingan, terutama di bidang bisnis,” tambahnya.
Dia pun berharap agar Omnibus Law, yang disebut sebagai bentuk reformasi legislatif tinggi yang bersejarah, dapat memperkuat kepercayaan para pelaku usaha AS yang hadir dalam acara tersebut untuk bekerja sama lebih dekat di bidang bisnis dengan Indonesia.