EKBIS.CO, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang hari ini konsisten bergerak di zona merah. Indeks saham berakhir melemah sebesar 1,37 persen atau terkoreksi 70 poin ke level 5.105 pada penutupan perdagangan Kamis (15/10).
Sektor keuangan, properti, aneka industri, pertambangan, industri konsumsi, infrastruktur, industri dasar, perkebunan, perdagangan mendominasi pergerakan IHSG sehingga menjadi kontributor terbesar pada penurunan IHSG hari ini. Investor asing membukukan pembelian bersih sebesar Rp 23 miliar.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, mengatakan, pergerakan pasar saham Asia tertekan setelah China melaporkan rendahnya inflasi pada September. "Selain itu, penurunan pada PPI China secara tahunan (year on year/yoy) yang lebih tinggi dari ekspektasi konsensus juga ikut memberikan tekanan pada perdagangan indeks hari ini," kata Nico, Kamis (15/10).
Dari dalam negeri, Nico melanjutkan, rilis neraca perdagangan yang mencatatkan surplus 2,4 miliar dolar AS belum mampu mengembalikan IHSG ke zona hijau pada penutupan perdagangan hari ini. Menyambung data tersebut, Bank Indonesia juga menyampaikan pandangannya yang cukup optimis pada perbaikan dari ekspor dan stimulus fiskal pada kuartal IV 2020.
Pemulihan tersebut didukung terutama oleh belanja pemerintah yang meningkat didorong stimulus fiskal terkait perlindungan sosial dan dukungan UMKM. Adapun hingga September 2020, realisasi stimulus fiskal telah mencapai Rp 318,48 trilliun atau 45,81 persen dari pagu anggaran belanja Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Dari sisi global, Bank Indonesia menyebut perbaikan ekonomi terus berlanjut, yang dipengaruhi oleh besarnya stimulus fiskal di beberapa negara maju, terutama Amerika dan China. Pemulihan ekonomi tercermin dari peningkatan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur dan Jasa di beberapa negara, serta keyakinan konsumen di Amerika dan kawasan Eropa.
"Meski demikian, ketidakpastian pasar keuangan global masih tetap tinggi, dipicu isu geopolitik. Hal ini berdampak pada terbatasnya aliran modal ke negara berkembang dan menahan penguatan mata uang berbagai negara, termasuk Indonesia," kata Nico menjelaskan.