EKBIS.CO, JAKARTA – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai, Bank Indonesia (BI) perlu menahan suku bunga acuan pada bulan ini. Sebab, penurunan suku bunga berpotensi tidak terlalu berdampak pada percepatan pemulihan ekonomi.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menyebutkan, peningkatan inflasi, perbaikan angka neraca perdagangan dan kedatangan vaksin menjadi indikator yang menggambarkan pemulihan ekonomi Indonesia lebih baik dalam waktu dekat. Tapi, suku bunga kebijakan sebagai instrumen untuk memacu aktivitas ekonomi perlu dilakukan pada waktu tepat untuk mencapai manfaat optimal.
Oleh karena itu, meski penurunan suku bunga dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan, Riefky menilai, sekarang terlalu dini untuk melakukannya kembali. "Kami melihat, BI perlu menahan suku bunga di 3,75 persen bulan ini dengan tetap menjaga stabilitas sektor keuangan," tuturnya dalam keterangan resmi yang diterima Republika.co.id, Rabu (16/12).
Riefky menyebutkan, pandangan tersebut mempertimbangkan beberapa hal. Di antaranya, kondisi penyebaran virus corona (Covid-19) yang masih tinggi, sehingga beberapa daerah diperkirakan akan memberlakukan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam waktu dekat. Dampaknya, tingkat permintaan kemungkinan kembali menurun hingga berimbas pada inflasi.
Bisnis pun akan menahan kembali rencana peningkatan produksi karena permintaan yang belum meningkat. Riefky menjelaskan, kondisi ini akan terus berlanjut hingga konsumen merasa aman untuk melakukan aktivitas normal dan usaha mulai memulihkan produksi.
Riefky menekankan, kedatangan vaksin tidak akan menjadi 'peluru ajaib' untuk mengatasi permasalahan fundamental, yakni kesehatan. Ada banyak aspek berperan dalam mengkatalisasi pemulihan ekonomi. “Kedatangan vaksin saja tidak akan memulihkan ekonomi secara instan karena adanya masalah distribusi dan implementasi di antara isu-isu lainnya,” ujarnya.
Di sisi lain, investor akan melihat data penyebaran virus di Indonesia sebagai gambaran pemulihan ekonomi yang lebih surah. Mereka berpotensi menahan atau mengembalikan aset mereka ke pasar yang lebih aman, sehingga akan berdampak pada nilai tukar rupiah.
Riefky mencatat, secara keseluruhan, kinerja rupiah hingga pertengahan Desember relatif lebih buruk apabila dibandingkan negara-negara Asia lain. Depresiasi Rupiah secara year-to-date mencapai dua persen, dibandingkan dengan nilai apresiasi pada Peso Filipina, Ringgit Malaysia, dan Thailand Bath yang masing-masing sebesar -5.45 persen (ytd), -0.5 persen (ytd) dan -0.1 persen (ytd).
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, Riefky menyebabkan, penurunan suku bunga BI berisiko dan berpotensi mengganggu stabilitas finansial. "Serta tidak terlalu berdampak terhadap percepatan pemulihan ekonomi," katanya.