Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 2018, ucap Edwin, kebutuhan investasi infrastruktur Indonesia sangat besar dengan akumulasi defisit investasi infrastruktur mencapai 1,5 triliun dolar AS atau Rp 14 ribu triliun.
Dalam RPJMN 2020-2024, lanjut Edwin, kebutuhan investasi infrastruktur Indonesia tercatat sebesar Rp 6.445 triliun yang berasal dari APBN dengan 37 persen, dan sisanya dari BUMN sebesar 21 persen serta swasta sebesar 42 persen.
Edwin mengatakan persoalan lain terletak pada sejumlah BUMN karya yang sudah over leverage sehingga memerlukan dukungan modal untuk percepatan pembangunan infrastruktur. Persoalan BUMN karya yang mengalami over leverage lantaran adanya penugasan yang diberikan pemerintah yang juga diperparah dengan adanya pandemi.
"Berdasarkan berita terakhir, BUMN karya merupakan salah satu dari tiga BUMN selain PTPN dan KAI yang memiliki tingkat utang tertinggi," ucap Edwin.
Edwin menyebut suntikan penyertaan modal negara (PMN) tidak dapat sepenuhnya menutupi kebutuhan ekuitas BUMN. Edwin mencontohkan kebutuhan ekuitas Hutana karya hingga 2030 yang sebesar Rp 291, 7 triliun, sementara PMN untuk Hutama Karya pada 2021 hanya sebesar Rp 7,5 triliun atau 2,6 persen dari total ekuitas yang dibutuhkan hingga 2030.
Edwin berharap keberadaan SMI yang juga kini ditambah dengan adanya Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dapat memacu percepatan pembangunan infrastruktur ke depan. SMI sendiri, kata Edwin, telah melakukan sejumlah hal mendukung pembiayaan pembangunan infrastruktur dengan sejumlah inovasi seperti platform kemitraan pembiayaan yang menawarkan layanan konsultasi dan pengembangan proyek yang berkualitas.
"Kami harus inovatif dalam memberikan pembiayaan investasi karena sudah ada LPI yang melengkapi perbankan yang selama ini sudah menggarap sektor infrastruktur. Kami juga selalu bersinergi dengan BUMN lain," kata Edwin menambahkan.