Ia juga menjelaskan dengan menghapus FABA dari limbah beracun juga membuat perusahaan menjadi lebih efisien. Sebab, selama ini karena FABA tidak bisa digunakan secara masif pemanfaatannya maka Adaro perlu mengangkut FABA ini untuk dikelola kembali.
"Karena FABA ditetapkan sebagai Limbah B3, hal ini berdampak pada kerumitan pengelolaannya karena mengingat jumlahnya yang besar. 2 PLTU Adaro yang berada di area yang cukup terpencil membuat pengangkutannya untuk dibawa ke lokasi pemanfaat membutuhkan biaya yang besar," ujar Ira.
Aturan dikeluarkannya FABA dari limbah B30 terdapat dalam PP No. 22/2021 merupakan turunan dari UU Cipta Kerja dan revisi atas PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Dengan begitu, abu batu bara yang tadinya masuk dalam kategori limbah B3 menjadi limbah nonB3.
Dalam Pasal 459 ayat (3) huruf c tertulis, pemanfaatan limbah nonB3 sebagai bahan baku yang pada lembar Pasal Demi Pasal di halaman 94 dijelaskan limbah tersebut adalah FABA batu bara untuk pembuatan produk konstruksi seperti semen.
"Pemanfaatan Limbah nonB3 khusus seperti fly ash batubara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Circulating Fluidized Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi pengganti semen pozzolan," tulis PP tersebut.
Meski begitu, dalam aturan ini tidak disebut berapa banyak porsi limbah batu bara dari PLTU yang wajib dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produk konstruksi.
Ketentuan dalam Pasal 459 ayat (1) hanya menyebutkan bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah nonB3 atau pihak lain dapat melakukan pemanfaatan limbah nonB3.
Sedangkan pada ayat (2), tertulis bahwa pemanfaatan limbah nonB3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib tercantum dalam Persetujuan Lingkungan yang ditetapkan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.