EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong pengembangan bioetanol berbasis potensi daerah, sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak. Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan bahwa selain mendorong pengembangan biodiesel, pemerintah juga akan pemerintah juga akan mendorong pemanfaatan biofuel lainnya, seperti bioetanol, untuk mengurangi impor gasoline.
Pemerintah sebenarnya telah mencanangkan program bioetanol sejak 2006, namun implementasi pemanfaatannya hingga saat ini belum bisa berjalan. Hal ini lantaran harga bioetanol masih cukup mahal dan sumber insentif belum tersedia.
"Yang jadi kunci dari program gasoline ini bagaimana harga bisa terjangkau karena memang daya beli konsumen kita masih lemah dan BBM ini masih disubsidi, sehingga kalau kembangkan biofuel dengan harga yang mahal ini menjadi PR tersendiri," kata Feby, Senin (22/3).
Pemerintah pun terus mencari terobosan untuk memproduksi biofuel dengan harga yang terjangkau. "Kalau kami kasih ke konsumen, konsumen enggak mampu beli dan kalau diberikan ke pemerintah untuk siapkan subsidi untuk selisih harga terlalu tinggi juga masih kurang." ujar Feby.
Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Elis Heviati menambahkan bahwa tantangan implementasi bioetanol lainnya adalah terkait terbatasnya ketersediaan feedstok. Oleh karena itu, rencana pengembangan bioetanol akan didorong berdasarkan potensi lokal setempat agar lebih mudah implementasinya.
Salah satu rencana pengembangan berbasis potensi lokal yang dilakukan, yakni kerja sama Kementerian ESDM, Pertamina, Toyota Motor, PT RNI, dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk pengembangan bioetanol berbasis rumput gajah di Lombok. Rencananya akan dibangun pabrik dengan kapasitas 30.000-76.000 kl per tahun.
Selain itu, Kementerian ESDM juga bekerja sama dengan Pemprov NTB dan Universitas Mataram untuk pengembangan bioetanol berbasis shorgum dengan kapasitas produksi kurang lebih 100 kl per hari. Kerja sama pengembangan bioetanol berbasis shorgum juga dilakukan di Yogyakarta dengan kapasitas produksi 100 liter per hari.
"Kemarin terakhir kami coba lakukan implementasi bioetanol terbatas di Jawa Timur, tapi belum dapat dilakukan (komersial) karena berbagai hambatan. Sebenarnya implementasi bioetanol ini pernah dan dapat kita lakukan tapi memang harus didukung dari sisi kebijakan dan dari sisi keberlanjutan feedstock," kata Elis.
Adapun, Kementerian ESDM mencatat hingga saat ini baru ada dua badan usaha bioethanol fuel grade yang aktif dengan kapasitas produksi 40.000 kl per tahun. Kapasitas tersebut masih sangat kurang untuk merealisasikan implementasi pemanfaatan bietanol secara nasional.