EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sebesar Rp 6.361 triliun per akhir Februari 2021. Adapun posisi ini meningkat Rp 128 triliun dari periode Januari 2021 sebesar Rp 6.233 triliun.
Menurut Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, peningkatan utang pemerintah relatif sulit terhindarkan di tengah meningkatnya kebutuhan belanja pemerintah untuk proses pemulihan kesehatan dan ekonomi pasca pandemi. Tren meningkatnya utang ini diproyeksikan masih akan terjadi khususnya di tengah proses pemulihan ekonomi baik pada tahun ini maupun tahun depan.
“Yang tidak kalah penting sebenarnya bagaimana pemerintah mengeksekusi belanjanya untuk mendorong proses pemulihan ekonomi nasional,” ucapnya.
Yusuf menekankan hal yang perlu diperhatikan pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi mengenai realisasi belanja program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Hal ini mengingat anggaran PEN meningkat dibandingkan pada 2020.
“Seharusnya peningkatan ini juga diikuti dengan perbaikan realisasi PEN itu sendiri,” ungkapnya.
Namun Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menekankan adanya kenaikan utang seiring pertumbuhan sisi belanja pemerintah. Hal ini perlu diwaspadai dampaknya berupa risiko terjadinya capital reversal surat utang pemerintah.
“Fenomena ini dipicu oleh kenaikan imbal hasil Treasury AS, sehingga lebih menarik bagi investor asing. Kalau spread atau selisih yield SBN dan Treasury makin menyempit bisa jadi pemerintah bakal sulit cari pembiayaan baru ke depannya,” ucapnya.
Sedangkan dampak faktor internal, menurutnya, akan menimbulkan crowding out effect yakni perebutan dana likuiditas di pasar antara perbankan atau perusahaan swasta misalnya dengan pemerintah.
“Efeknya nanti bank akan lebih banyak parkir di surat utang ketimbang menyalurkan pinjaman. Deposan juga akan keluarkan dana di perbankan untuk masuk beli surat berharga negara (SBN). Tentu ini situasi yg menghambat pemulihan ekonomi,” ucapnya.