EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menginisiasi kebijakan substitusi impor sebesar 35 persen pada 2022. Tujuannya memperbaiki neraca perdagangan nasional, terutama bagi bahan baku dan bahan penolong yang menjadi tulang punggung industri pengolahan nasional.
Diyakini pula, kemampuan pasokan bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri akan meningkat. “Substitusi impor ini diharapkan tidak hanya memacu peningkatan konsumsi bahan baku dan bahan penolong lokal, namun juga memacu industri nasional dalam mengisi kekosongan pada struktur industri yang selama ini diisi dengan cara impor,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam melalui keterangan resmi yang diterima Republika.co.id, Jumat (7/5).
Guna mewujudkan suksesnya program substitusi impor tersebut, Dirjen IKFT menegaskan, Kemenperin fokus pada penurunan impor bahan baku dan bahan penolong, serta barang jadi dari produk hilir yang secara paralel dilakukan beberapa pendekatan yang disinergikan dengan pemangku kepentingan terkait. “Namun perlu mendapatkan perhatian yakmi penurunan impor bahan baku dan bahan penolong ini seyogyanya tidak menghambat produksi, terutama bagi produk hulu atau setengah jadi yang menjadi input oleh industri turunan atau hilir,” tutur dia.
Adapun beberapa pendekatan yang bisa dilakukan dalam kebijakan substitusi impor, di antaranya perluasan industri bagi peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong sebagai input industri turunan. Pendekatan ini lebih ditujukan kepada produsen bahan baku eksisting, ditujukan guna memperluas volume produksi dan kemampuan supply dalam negeri.
Kedua, investasi baru yang ditujukan bagi para industri demi menangkap peluang besarnya impor bahan baku dan bahan penolong melalui produksi bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri. Ketiga, lewat peningkatan utilisasi industri. Pendekatan ini merupakan salah satu outcome yang diharapkan dapat meningkatkan utilisasi industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan bahan penolong.
“Kebijakan substitusi impor tidak bisa dicapai hanya dengan mengurangi impor saja. Maka ketiga pendekatan tersebut menjadi penting dan prioritas dalam mencapai target substitusi impor sebesar 35 persen pada 2022,” jelas Khayam.
Menurutnya, sektor IKFT mampu memberikan kontribusi besar terhadap kebijakan substitusi impor tersebut. Potensi ini salah satunya ditunjukkan dari kinerja gemilang industri farmasi, obat kimia dan obat tradisional, serta industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia yang pertumbuhannya pada 2020 naik sebesar 9,39 persen year on year (yoy).
“Sementara, kontribusi sektor industri kimia, farmasi dan tekstil sebesar 4,48 persen. Dengan kontribusi terbesar di industri kimia, farmasi dan obat sebesar 1,92 persen,” tutur dia.
Sepanjang 2020, perkembangan ekspor di sektor IKFT sebesar 33,99 miliar dolar AS. Terdapat surplus sebesar 89 juta dolar AS.
“Sumbangan ekspor terbesar dari industri pakaian jadi dan tekstil, dengan nilai USD10,63 miliar,” tuturnya. Kemudian, realisasi investasi tahun lalu pada sektor IKFT menembus Rp 61,97 triliun yang didominasi oleh industri kimia dan bahan kimia.
“Sedangkan tenaga kerja yang bisa diserap sebesar 6,24 juta orang. Penyerapan terbesar di industri tekstil dan pakaian jadi sebesar 3,43 juta orang,” kata Khayam.