EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengungkapkan tiga pertimbangan rencana pengenaan pajak penambahan nilai (PPN) terhadap barang dan jasa. Adapun rencana pengenaan PPN tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan, pertimbangan pertama, merespons pandemi Covid-19 karena menekan penerimaan kas negara. Padahal negara harus menggelontorkan dana untuk memberikan insentif pajak dan membiayai pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Kedua, tarif PPN Indonesia masih berada pada level 10 persen. Adapun angka ini tergolong rendah dibandingkan negara lain yang menerapkan PPN atau value added tax dan goods and services tax.
Ketiga, struktur penerimaan dari PPN. Sebab selama ini PPN memiliki kontribusi 42 persen terhadap penerimaan negara.
"Akhirnya jadi bahan diskusi oleh pemerintah untuk melihat apakah kita, bangsa Indonesia, bisa menggunakan salah satu opsi PPN sebagai salah satu respons untuk menghadapi situasi sekarang ini," ujar Neilmaldrin saat media briefing pajak, Senin (14/6).
Neilmaldrin melanjutkan, jika pemungutan PPN dapat dilakukan secara optimal, maka pemerintah dapat mengerek penerimaan negara yang dapat digunakan untuk berbagai program pembangunan. Apabila dilaksanakan, pengenaan PPN terhadap barang seperti kebutuhan pokok serta pendidikan tidak akan diberlakukan dengan tarif yang rata.
Pemerintah juga akan menerapkan skema multi tarif dengan rentang lima persen hingga 25 persen. Hal ini dilakukan karena pemerintah ingin berlaku lebih adil terhadap masyarakat.