EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, sumber bahan baku industri hilir sawit berasal dari perkebunan rakyat. Luasannya mencapai 44 persen atau 7,17 juta hektare dari total 16,3 juta hektare luas kebun sawit Indonesia.
“Rantai nilai industri kelapa sawit telah tersambung mulai dari kebun, pabrik kelapa sawit, industri hilir hingga konsumen akhir. Hal itu menjadikan sektor ini berpotensi sebagai penghela pemulihan ekonomi nasional dalam rangka persiapan skenario pascapandemi,” ujar Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika melalui keterangan resmi, Kamis (21/10).
Maka, kata dia, Kemenperin menjadikan industri pengolahan kelapa sawit sebagai salah satu sektor yang mendapat prioritas pengembangan, sehingga perlu dijaga aktivitas produksinya selama masa pandemi. Melalui penerbitan dan pengawasan Izin Operasional Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI), industri hilir kelapa sawit dikategorikan sebagai sektor kritikal yang dapat beroperasi 100 persen selama masa pandemi dengan kewajiban menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
“Kami juga memfasilitasi melalui pemberian Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sekitar 6 dolar AS per MMBTU sesuai Perpres Nomor 40/2016. Fasilitas tersebut telah diimplementasikan lebih dari 20 pabrik oleokimia turunan minyak sawit dari 11 perusahaan,” jelas dia.
Plt Dirjen Industri Agro menekankan, langkah Kemenperin umengadvokasi penentuan tarif pungutan ekspor kelapa sawit, CPO, dan turunannya merupakan strategi jitu dalam mendorong hilirisasi industri kelapa sawit. Sejak 2011, Kemenperin konsisten dalam mengusulkan tarif pungutan ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya secara progresif sesuai rantai nilai industri dan harga CPO internasional sebagai harga referensi bulanan.
“Struktur pentarifan tersebut dinilai lebih pro-industri pengolahan,” tegas Putu. Hal ini sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai Tarif Pungutan Dana Perkebunan, yaitu PMK Nomor 133/2015 juncto PMK 76/2021 dan PMK tentang Tarif Bea Keluar yaitu PMK Nomor 128/2011 juncto PMK Nomor 166/2020.