Hatta pun menegaskan Kementan melibatkan multi pihak dalam pengaturan tata kelola pupuk bersubsidi. Artinya, tidak bekerja sendiri dalam mengurus pupuk bersubsidi. Seperti di tingkat perencanaan dijalankan Kementan, penyaluran PIHC, verifikasi dan monitoring dibantu pemerintah daerah.
Di perkebunan sawit, petani meminta pemerintah untuk melindungi tata kelola pupuk non subsidi. Pasalnya, harga pupuk melonjak tinggi dalam delapan bulan terakhir. Harga pupuk baik tunggal dan majemuk naik antara 70 persen-120 persen.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Gulat Manurung, mengungkapkan petani sawit dikatakan penyelamat ekonomi dan pahlawan devisa. Di saat harga TBS tinggi, petani tidak dapat menikmati dan melanjutkan rencana peningkatan produktivitas. Sebab, harga pupuk naik sangat tinggi melebihi kenaikan harga TBS sawit.
“Akan tetapi, di saat yang bersamaan kami diobok-obok semuanya oleh pelaku produsen pupuk. Yang terjadi saat ini kami merasa dianaktirikan, saya sebagai Ketua sudah kehabisan kata-kata menahan amarah petani sawit dari 144 Kab Kota se Indonesia, semua bermula melihat fakta harga pupuk nonsubsidi meroket tajam naik 120 persen dari harga sebelumnya,” kata Gulat.
Ia mempertanyakan kenaikan harga pupuk yang mengikuti kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Petani sawit meminta pemerintah untuk segera mencari tahu penyebab kenaikan harga pupuk dan meminta pabrik pupuk pelat merah jangan ikut-ikutan menaikkan harga harus menjadi control, bukan sebaliknya.
“Kami (petani sawit) tidak pernah menuntut pupuk subsidi, hanya meminta pemerintah serius dan fokus mengontrol harga pupuk yang non subsidi,” terang dia.
Gulat mengatakan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terancam gagal karena anggaran biaya PSR sudah berantakan akibat kenaikan harga pupuk. Sebagai contoh pupuk urea sudah dipatok Rp 4.500 per kg sebelum adanya kenaikan. Namun sekarang sudah mencapai di atas Rp 6.000 per kg.
"Selama ini kami petani sawit sudah sangat tertekan dengan Kawasan Hutan. Sekarang justru tambah lagi persoalan harga pupuk kejadian luar biasa, di saat yang bersamaan kementerian terkait semua terkesan tiarap," ujar dia.
Harga pupuk dipengaruhi tiga faktor utama yakni nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, transportasi dan bahan dasar pupuk tersebut. Dan menurut pengamatan kami, ketiga faktor tersebut dalam keadaan normal, kecuali bahan baku yang sedikit naik, namun hal ini idealnya tidak mengakibatkan naik signifikannya harga pupuk.
“Kami berharap Komisi IV DPR RI bisa segera memanggil kementerian terkait untuk mengevaluasinya, ini sudah KLB” ujar dia.
Harga pokok produksi (HPP) tandan buah segar (TBS) petani sewaktu harga pupuk masih normal Rp 794 per kg. “Namun HPP kami sekarang Rp 1.350 per kg karena 58 persen pengeluaran untuk biaya pupuk,” kata Gulat.
Alhasil pendapatan petani sekarang hanya Rp 815.000 per hektare per bulan dari sebelumnya Rp 1,1 juta per hektare per bulan. “Harga sawit Rp 3.000 per kg, tapi kami turun pendapatan, bisa bangkrut,” kata dia.