EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana menggabungkan usaha atau merger 31 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menjadi 13 BPR. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK mengatakan saat ini 30 BPR sudah dalam proses merger menjadi 17 BPR.
“Tahun ini ada 31 BPR yang merger menjadi 13 BPR. Saat ini dalam proses merger ada 30 BPR menjadi 17 BPR nantinya," ujarnya saat acara Launching Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025 secara virtual, Selasa (30/11).
Sementara itu Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menambahkan jumlah BPR dan BPR Syariah (BPRS) di Indonesia mengalami tren penurunan dari sebelumnya sebanyak tiga ribu BPR menjadi 1.646 BPR pada September 2021.
"Banyak sekali BPR milik pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota yang melakukan konsolidasi, ini terus berlangsung. Dengan konsolidasi BPR akan semakin kuat, tata kelola akan lebih baik," ucapnya.
Menurutnya BPR perlu mempertimbangkan untuk melakukan konsolidasi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan modal dan bisa bersaing di tengah layanan digital perbankan.
"Mereka (BPR) merespons menangkap peluang. Mereka menyadari, tanpa adanya penguatan modal dengan konsolidasi, maka akan ditinggalkan nasabah," ucapnya.
Heru mengakui BPR dan BPRS cenderung kalah saing dari perusahaan pinjaman online dan rentenir sebagai sumber pinjaman bagi masyarakat. Hal ini karena masalah kecepatan akses keuangan.
"Jadi kenapa pinjaman online ilegal dan rentenir bisa ada ruang? Karena layanan sangat cepat, layanan tanpa henti, 24 jam," ucapnya.
Menurutnya dari sisi risiko, pinjaman online ilegal dan rentenir cukup besar. Maka itu, menurut Heru, BPR perlu melakukan transformasi bisnis ke depan, sehingga bisa mengambil ruang pinjaman masyarakat.
"Saya menginginkan ruang yang diambil oleh para pinjaman online ilegal dan rentenir, bisa diambilalih oleh peran BPR dan BPRS kita," ucapnya.
Heru menyebut ada beberapa pengembangan yang perlu diadopsi BPR dan BPRS agar bisa mengambil ruang tersebut. Pertama, memperkuat modal baik secara mandiri maupun konsolidasi dengan cara merger, sehingga BPR dan BPRS punya sumber pendanaan yang kuat untuk memenuhi permintaan masyarakat.
Kedua, mengadopsi teknologi dan digitalisasi agar pelayanan lebih cepat dan mudah kepada masyarakat. Jika bisa BPR dan BPRS bisa memberikan akses keuangan 24 jam.
"Kalau mereka (BPR dan BPRS) bisa memberikan layanan itu, kenapa nasabah harus lari ke pinjaman online yang beri bunga setinggi langit? Tentu nasabah akan bisa dilayani oleh BPR karena bunganya juga lebih bersaing dengan syarat yang tentunya tidak mencekik leher," ungkapnya.
Ketiga, bekerja sama dengan pinjaman online legal (fintech). Menurut Heru, kolaborasi dengan fintech adalah solusi yang saling menguntungkan (win-win solution).
“Bagi BPR dan BPRS, mereka jadi bisa lebih cepat adopsi teknologi dan digitalisasi yang dibawa oleh fintech,” ucapnya.
Bagi fintech, lanjut Heru, mereka bisa memperluas jangkauan pinjaman dengan memanfaatkan cabang BPR dan BPRS yang tersebar hingga ke pelosok Indonesia. Pada akhirnya, kerja sama ini memberi manfaat peningkatan inklusi dan literasi keuangan bagi masyarakat serta menumbuhkan perekonomian nasional.
"Jadi fintech bukan ancaman, tapi teman bagi BPR. Selama ini banyak orang katakan BPR bisa terdisrupsi oleh fintech, tapi kita tidak perlu dikotomikan, tapi dekatkan saja, kolaborasi," ucapnya.
Berdasarkan data OJK, jumlah kerja sama antara keduanya sudah terjalin 51 BPR dan 31 fintech, salah satu hasil kerja sama yang tak disebutkan namanya, diklaim telah membuat portofolio kredit kedua perusahaan meningkat hampir 40 persen.