EKBIS.CO, JAKARTA -- Surplus neraca dagang menjadi salah satu indikator upaya pemulihan ekonom di tengah tantangan pandemi Covid-19 sejak awal tahun lalu. Untuk mempertahankan capaian tersebut, pemerintah dinilai perlu menjalankan perdagangan yang terbuka dengan tetap memperhatikan kelancaran rantai pasok dalam negeri.
“Pemerintah harus fokus pada orientasi perdagangan terbuka dengan tidak melupakan kepentingan kelancaran rantai pasok dalam negeri yang dapat mendukung perekonomian di daerah,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/12).
Nilai surplus dagang pada November 2021 mencapai 3,51 miliar dolar AS. Adapun surplus kumulatif Januari-November 2021 tembus 34,32 miliar dolar AS.
Sementara itu, nilai ekspor Indonesia pada bulan lalu tercatat 22,84 miliar dolar AS. Adapun nilai impor memiliki valuasi tertinggi sepanjang sejarah dengan mencapai 19,33 miliar dolar AS.
Dia meminta pemerintah untuk mempermudah proses impor bahan baku untuk menggerakkan industri. Jika nantinya terjadi penurunan nilai impor, terutama pada bahan baku industri, seharusnya dilihat sebagai sebuah peringatan.
Porsi impor terbesar Indonesia masih dipegang sekor migas dengan impor di bulan November ini mencapai 3,03 miliar dolar AS atau setara dengan pertumbuhan 59,4 persen dari Oktober 2021 dan 178,9 persen year on year (yoy). Porsi terbesar ada pada komoditas hasil minyak.
Dari sektor non-migas, impor terbanyak adalah mesin atau peralatan mekanis dan bagiannya serta mesin atau peralatan elektrik dan bagiannya dengan masing-masing mencatatkan valuasi sebesar 2,6 miliar dolar AS dan 2 miliar dolar AS.
Di sisi yang lain, terjadi penurunan impor produk pertanian dan perkebunan seperti serealia, gula dan kembang gula. Negara asal impor produk non-migas terbanyak masih Tiongkok, diikuti oleh Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, Thailand, Singapura dan Amerika Serikat.
“Berkurangnya impor juga merupakan salah satu dampak pandemi Covid-19 dimana industri mengurangi jumlah tenaga kerja dan juga produksinya. Berkurangnya jumlah tenaga kerja dan produksi tentu juga mengurangi jumlah perdagangan, baik ekspor maupun impor," kata Pingkan.
Ia menambahkan, China saat ini masih menjadi negara tujuan ekspor non-migas Indonesia yang terbesar dengan 5,4 miliar dolar AS diikuti dengan Amerika Serikat, Jepang, India, dan juga Malaysia yang masing-masing valuasinya berada di atas 1 miliar dolar AS. Sedangkan untuk pangsa ekspor regional, pasar ASEAN masih memimpin dengan 4,1 miliar dolar AS jika dibandingkan dengan pasar Uni Eropa di 1,8 miliar dolar AS.
“Pemerintah perlu terus membuka peluang ekspor pada negara-negara non-tradisional untuk meningkatkan jangkauan ekspor produk Indonesia. Peningkatan daya saing produk juga harus terus dilakukan,” tuturnya.