Ahad 27 Feb 2022 09:57 WIB

Indef: Perang Rusia-Ukraina Perlambat Pemulihan Ekonomi Indonesia dan Global

Pemulihan ekonomi dunia postcovid terancam inflasi.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Esthi Maharani
Warga tengah melihat gedung yang hancur akibat serangan roket di Kyiv, Ukraina.
Foto: AP Photo/Emilio Morenatti
Warga tengah melihat gedung yang hancur akibat serangan roket di Kyiv, Ukraina.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Perang Rusia dan Ukraina dipastikan akan berdampak pada ekonomi global, terutama pemulihan pascapandemi. Indonesia sebagai negara produsen komoditas utama dunia dipastikan juga akan ikut terdampak dari perlambatan pemulihan ekonomi tersebut.

Peneliti Indef, Eisha M Rachbini mengungkapkan terdapat beberapa dampak dari Invasi Rusia terhadap Ukraina, khususnya terhadap Ekonomi Global. Pertama, ia menyebut pemulihan ekonomi dunia postcovid, dengan ancaman Inflasi.

Ancaman inflasi ini, ungkap dia, telah terlihat di beberapa negara maju seperti, AS, bahkan terasa hingga Indonesia. Invasi Rusia ini juga membuat kenaikan harga komoditas dunia. "Jika perang berlanjut, pemulihan ekonomi global juga terancam akan lebih rendah dari prediksi awal," kata Eisha M Rachbini, dalam diskusi Indef, "Dampak Ekonomi Perang Rusia-Ukraina", Sabtu (26/2/2022).

Eisha memaparkan prediksi pertumbuhan ekonomi global pada 2022 berada di angka 4.4 persen dan 3.8 persen pada 2023. Untuk negara maju pertumbuhan ekonomi di angka 3.9 persen pada 2022 dan 2.6 persen pada 2023. Khusus negara berkembang, prediksi pertumbuhan ekonomi di 4.8 persen pada 2022, dimana sebelumnya pada 2021 pertumbuhan ekonomi berada di angka 4.7 persen.

Kemudian untuk negara ASEAN pertumbuhan ekonomi terjadi mulai 5 - 5.6 persen pada 2022 dan mencapai 6 persen pada 2023. Sedangkan khusus untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di 5.6 persen pada 2022 dan 6 persen pada 2023. Sedangkan terkait dengan harga harga komoditas dunia, pada 2022 juga telah mengalami kenaikan.

"Russia adalah salah satu produsen dunia minyak bumi dan industri pertambangan seperti nikel, alumunium dan palladium. Rusia dan Ukraina adalah eksporter utama gandum. Rusia juga produsen kalium karbonat (potash) bahan baku pupuk," paparnya.

Dengan demikian, ia mengungkapkan, Risiko perang akan dapat berdampak pada kenaikan harga minyak bumi yang diperkirakan meningkat mencapai lebih dari 100 dolar AS per barrel untuk harga Brent oil, per 24 February 2022. Sementara harga bahan bakar minyak meningkat di AS dan Eropa sebesar 30 persen.

Selain itu, ia melihat jika konflik Rusia-Ukraina ini berkepanjangan, maka akan ikit berdampak terhadap global supply chain atau rantai pasok global. Padahal supply chain saat ini telah mengalami hambatan logistik akibat covid-19 yang memicu kenaikan harga komoditas.

"Jika supply komoditas dan logistik pengiriman terhambat, serta infrastruktur utama, seperti Pelabuhan di area Black Sea jika rusak akibat perang, maka negara maju dapat memberikan sanksi banned atas komoditas Rusia. Hal itu pasti akan memperburuk harga komoditas, karena global supply rendah, by mengecualikan sumber komoditas alam asal Russia," paparnya.

Dampak lain, sebut Eisha, akan menjalar ke pasar finansial. Terkait sanksi yang diberikan AS terhadap pemain pasar keuangan dan tech companies Rusia. "This is a serious economic impact to Russia, but not fatal, as Russia might be possible to get help from China," terangnya.

Dimana Harga komoditas meningkat, inflasi, situasi ekonomi global akan merubah skenario the Fed to increase interest rate. Kemudian bagaimana dengan dampaknya terhadap Indonesia? Ia menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terpengaruh perekonomian global.

"Pertumbuhan ekonomi global yang mepambat akan ikut memperlambat pemulihan ekonomi emerging market, seperti Indonesia," tegasnya.

Financial Market domestik pada nilai tukar, IHSG Inflasi tinggi akibat commodity shock, akan mendorong The Fed menaikkan suku bunga. Inflasi AS berada di 7.5 persen pada Januari 2022, dimana angka ini tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Termasuk Safe Havens Currencies seperti USD dan JPY.

"Ikut berdampak ke depresiasi nilai tukar rupiah, potensi capital outflow, balance of payment (BoP). Di pasar keuangan, juga dapat terdampak pada penyaluran kredit, dan kinerja korporasi," ungkapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement