EKBIS.CO, JAKARTA -- Laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2022 mencapai 5,01 persen, melanjutkan tren pemulihan perekonomian di masa pandemi Covid-19. Pemerintah pun optimistis angka pertumbuhan ekonomi akan tumbuh lebih tinggi, didorong oleh berbagai pelonggaran aktivitas yang telah ditempuh pemerintah.
"Untuk kuartal II yang akan datang pertumbuhan ekonomi akan dapat lebih tinggi 20 persen akibat pelonggaran dan lebaran," kata Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir kepada Republika.co.id, Senin (9/5/2022).
Dengan keyakinan itu, Iskandar mengatakan, laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal II (April-Juni) akan tumbuh lebih tinggi.
Meski pertumbuhan terus dalam tren positif, ekonom Yusuf Rendy Manilet menilai dibutuhkan dukungan kebijakan fiskal untuk melanjutkan tren pemulihan demi mencapai posisi seperti sebelum pandemi.
"Beberapa kebijakan fiskal harus terukur dan bisa menopang ataupun menjaga tren pemulihan yang sudah terjadi saat ini," kata Yusuf pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics.
Realisasi belanja pemerintah sepanjang kuartal I 2022 tercatat kontraksi minus 7,74 persen, berbanding terbalik dengan belanja masyarakat yang tumbuh positif 4,34 persen. Kontraksi belanja pemerintah dinilai karena berkurangnya pos belanja sosial untuk membantu masyarakat di masa pandemi.
Yusuf menilai, kontraksi terhadap belanja pemerintah perlu menjadi perhatian bersama karena menjadi salah satu penopang yang mendukung pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, ia meminta agar pemerintah lebih berhati-hati dalam mengeksekusi kebijakan yang bisa menekan daya beli masyarakat. "Seperti kemarin ada wacana kenaikan harga Pertalite, listrik, dan harga gas. Ini menurut saya harus dilihat secara seksama dan dipertimbangkan apabila ingin dieksekusi tahun ini," kata Yusuf.
Meskipun tren pemulihan ekonomi berlanjut, masih ada kelompok masyarakat yang masih berjuang untuk memulihkan keadaan ekonominya. Tercatat dari data BPS, penduduk usia kerja yang masih terdampak Covid-19 ada sebanyak 11,53 juta orang per Februari 2021.
Jumlah itu masih cukup besar meskipun turun dari posisi Februari 2021 lalu yang sebanyak 19,1 juta orang. Mereka yang terdampak, kata Yusuf, semestinya menjadi sasaran kebijakan fiskal pemerintah.
Sementara itu, tantangan terberat pemerintah ke depan yakni pada penciptaan lapangan kerja. Mereka yang saat ini belum masuk ke angkatan kerja diharapkan dapat segera masuk sehingga daya beli masyarakat bisa terangkat.
"Ketika daya beli terangkat, konsumsi meningkat, biasanya investasi akan naik, mesin-mesin produksi dari industri akan bergerak dan akhirnya kembali mendorong lebih banyak orang mendapatkan pekerjaan," kata Yusuf.