EKBIS.CO, JAKARTA -- Pelaku industri rokok meminta pemerintah tak lagi meyederhanakan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok maupun batasan produksi rokok.
Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, mengatakan saat ini IHT legal dalam proses penyesuaian akibat kenaikan tarif cukai yang eksesif selama tiga tahun berturut-turut.
“Bahkan, jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I, kenaikannya mencapai 56,5 persen. Sementara, di saat bersamaan, pelaku IHT legal juga harus menghadapi pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi yang melambat. Itu berdampak menurunkan daya beli,” ujarnya dalam keterangan tulis, Senin (4/7/2022).
Menurut Henry, dampak kenaikan tarif cukai dan pandemi Covid-19 masih sangat terasa, yaitu produksi turun dan pasar tergerus oleh rokok ilegal yang semakin marak, sehingga omset anggota GAPPRI turun drastis.
“Hemat kami, dengan situasi itu seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang makin memberatkan kelangsungan usaha IHT legal. Sebagai alternatif, optimalisasi penerimaan Negara dari sumber lain, kami mendorong pemerintah berkomitmen mewujudkan ekstensifikasi cukai,” ucapnya.
Keberadaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris, dimana pemerintah melakukan penyederhanaan (simplifikasi) dari 10 layer menjadi delapan layer dinilai juga menjadi ancaman bagi pelaku industri.
Menurutnya simplifikasi akan melemahkan daya saing yang dapat mematikan pabrikan menengah dan kecil. Dimulai dari golongan yang dihilangkan layernya, karena harus naik ke golongan atasnya akibat peraturan, bukan karena kemampuan dan penambahan produksi.
Sementara golongan yang naik ke atas, harus membayar cukai yang sangat tinggi, dan harga jual harus naik pada segmen yang sama yang membuat mereka harus menyiapkan modal yang besar. Selanjutnya, mereka juga harus bersaing dengan pabrikan besar yang sudah mapan.
“Ketidakmampuan bersaing dengan golongan besar akan membuat golongan menengah kecil gulung tikar,” ucapnya.
Henry Najoan juga menyoroti adanya wacana untuk melakukan simplifikasi berdasarkan jumlah produksi, dari batasan 3 miliar batang menjadi 2 miliar batang (quota reduction). Menurutnya, apa pun bentuk simplifikasi dan penggabungannya, akan membuat IHT legal terutama menengah ke bawah akan mengalami kontraksi dan melemahkan daya saingnya.
Henry menegaskan, penurunan batasan produksi pada golongan I dari 3 miliar menjadi 2 miliar batang akan menciptakan gelombang kontraksi yang merugikan IHT legal golongan kecil dan menengah. “Kami menolak wacana pengurangan batasan produksi. Kalau masih harus disibukkan dengan penyesuaian penggolongan, kami khawatir akan lebih banyak mudaratnya bagi pabrik rokok legal dibanding manfaatnya,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Edi Sutopo berpendapat, penyederhanaan (simplifikasi) cukai akan berdampak pada IHT skala kecil, karena harus head to head dengan IHT skala besar, dan imbas terbesar pada pabrik sigaret kretek tangan (SKT) yang menyerap banyak tenaga kerja.
“Simplifikasi berpotensi terhadap pengurangan tenaga kerja dan menimbulkan pengangguran baru. Karena itu, kami menolak rencana simplifikasi struktur cukai dan mempertahankan struktur cukai 10 layer),” kata Edi.
Jika simplifikasi kembali diterapkan, kata Edi, dari sisi harga, rokok illegal secara head to head bersaing dengan rokok golongan 2 dan 3 di pasaran. Sehingga, apabila dilakukan simplifikasi, maka akan berpotensi semakin maraknya rokok illegal di pasaran.
“Jarak harga rokok yang paling rendah akan lebih lebar dibandingkan rokok ilegal sehingga masyarakat berpotensi lebih memilih rokok illegal. Di samping itu, negara juga berpotensi kehilangan pendapatan karena konsumen akan lebih memilih membeli rokok illegal,” pungkasnya.