EKBIS.CO, JAKARTA -- Angka kemiskinan Indonesia mengalami penurunan ke level 9,54 persen per Maret 2022, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Jumat (15/7/2022). Kendati demikian, peningkatan angka kemiskinan masih terbuka akibat lonjakan harga-harga kebutuhan pokok yang dirasakan saat ini.
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies, Yusuf Wibisono, menuturkan, tantangan ekonomi pasca Maret 2022 cukup besar bagi masyarakat. Terutama akibat kenaikan harga-harga yang semakin masif danmemberikan tekanan besar.
"Saya khawatir, peluang angka kemiskinan ini bisa bertambah di periode September 2022, angka kemiskinan turun di bulan Maret saja sudah cukup surprise," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Jumat (15/7/2022).
Diketahui, BPS merilis profil kemiskinan Indonesia untuk periode Maret dan September setiap tahunnya. Yusuf pun mengatakan, harga bahan pokok sebetulnya sudah mengalami kenaikan sejak awal tahun ini, namun nyatanya pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan di periode Maret lalu.
Ia menambahkan, prospek ekonomi saat ini bisa jatuh ke dalam situasi yang suram, tapi inflasi tetap tinggi karena didorong oleh faktor global. Ke depan, kondisi sulit ini menjadi tantagan pemerintah untuk dapat membenahi koordinasi antarkebijakan moneter dan fiskal demi menjaga ketahanan ekonomi domestik.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah mengatakan hal senada. Inflasi pangan dan energi menjadi titik persoalan yang bisa mempengaruhi angka kemiskinan ke depan.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan kemungkinan akan ditempuh Bank Indonesia dan bisa berdampak pada peningkatan pengeluaran modal pelaku usaha dalam berinvestasi. Hal itu dikhawatirkan akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja secara massal.
Rusli menambahkan, untuk saat ini masyarakat perdesaan setidaknya lebih tahan terhadap tekanan inflasi pangan. Sebab, desa menjadi lumbung pangan sehingga harga-harga kebutuhan pokok cenderung lebih murah. Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan dengan mengalokasikan 40 persen Dana Desa untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).
"Itu diwajibkan, jadi sudah ada langkah di desa. Hanya saja di kota belum ada (kebijakan)," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, menilai tangan kenaikan harga-harga barang dipastikan menggerus daya beli masyarakat, khususnya lapisan bawah. Belum lagi jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar bersubsidi.
Mobilitas masyarakat kemungkinan terus dilonggarkan seiring laju penularan Covid-19 yang terkendali. Langkah itu secara langsung memang akan meningkatkan upah masyarakat secara nominal.
"Namun pendapatan secara riil kemungkinan stagnan karena harga-harga, oleh karena itu inflasi pangan yang harus menjadi fokus ke depan demi meneruskan pemulihan ekonomi," ujarnya.