"Pemerintah dapat menambahkan syarat tambahan yang berkaitan dengan performa kendaraan listrik untuk mendorong peningkatan keandalan kendaraan listrik serta ekosistem riset dan pengembangan dari industri kendaraan listrik yang ada di Indonesia. Standar tersebut misalnya jarak tempuh kendaraan, kapasitas baterai minimal, dan efisiensi konversi," kata Peneliti IESR Faris Adnan.
Lebih lanjut, kata Faris, hal menarik lainnya dari insentif kendaraan listrik ini ialah prioritas pemberian insentif bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya penerima kredit usaha kecil (KUR) dan bantuan produktif usaha mikro (BPUM), termasuk pelanggan listrik 450-900 volt ampere (VA).
Namun, menurutnya pengendara motor penyedia transportasi daring (online) atau penyedia jasa logistik perlu pula menjadi prioritas.
"Pengendara ojek 'online' atau logistik perlu diprioritaskan dalam pemberian bantuan ini karena mereka memiliki jarak tempuh yang jauh per harinya sehingga manfaat ekonomi yang didapat bagi pengguna maupun pemerintah akan lebih besar. Jumlah bantuan yang ditawarkan pun perlu didorong lebih tinggi dibandingkan jumlah bantuan bagi penerima awam, yakni di atas Rp 7 juta," tuturnya.
Namun, untuk mendorong adopsi kendaraan listrik yang lebih agresif dan menjamin efektivitas insentif, IESR menyebut diperlukan sejumlah reformasi kebijakan, di antaranya pengurangan subsidi BBM dan kebijakan untuk menghentikan secara bertahap (phase-out) kendaraan BBM, mulai dari kendaraan penumpang (passenger car) sebelum 2045, dan motor konvensional. IESR memandang meskipun reformasi kebijakan tersebut bukan kebijakan populis, tetapi perlu diambil oleh pemerintah dengan pertimbangan yang dalam.